Psikolog menyebut trauma atau kondisi psikologis korban pelecehan tidak bisa hanya dilihat dari aktivitas kesehariannya. Sebelumnya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyatakan, psikologis siswi salah satu MI swasta Kota Surabaya stabil usai dilecehkan gurunya sendiri.
Keterangan itu disampaikan Nanik Sukristina Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) Kota Surabaya usai pendampingan pada para korban sejak Rabu (22/2/2023). Menurutnya, semua korban stabil karena sudah bisa bercerita dan beraktivitas seperti biasa. Namun pemkot tetap akan mendampingi.
Riza Wahyuni praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya menyebut, kestabilan korban tidak bisa hanya berdasarkan aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
“Pengalaman saya bahwa stabil atau tidak stabil dalam konteks kapasitas activity, tapi kan belum tentu inner nya. Itu harus dilakukan pemeriksaan mendalam. Inner dari dalam yang tidak muncul,” kata Riza, Jumat (24/2/2023).
Namun, memastikan tingkat trauma para korban harus betul-betul berdasarkan data, tidak cukup pengamatan atau observasi.
“Aktivitas itu kadang-kadang bisa saja ketika saya marah, saya ketawa. Kamu sedih belum tentu nangis. Bisa saja belanja kem ana-kemana, sebagai bentuk pengalihan kamu. Misal, meriksa si A kelihatan baik-baik saja, kayaknya santai tapi begitu dilakukan pemeriksaan psikologi mendalam ternyata ada trauma. Dia jijik dengan pengalaman pelecehan terhadap diri dia di masa lampau. Dia punya ide bunuh diri. Padahal kalau dilihat dari kenyataan riilnya tidak ada masalah. Tapi ada gejala, nah ini yang tidak dipahami. Bahwa untuk bisa melakukan ini harus dilakukan pemeriksaan mendalam,” terang Riza yang juga merupakan praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim.
Selain itu, untuk melakukan skrining trauma kasus pelecehan tidak selalu menyangkut korban. Apalagi jika terjadi pada anak, bisa saja berpengaruh terhadap orang tua.
“Bahwa trauma itu tidak harus kepada korban. Tapi bagaimana dengan lingkungan. Nah mungkin di dalam dirinya tidak kelihatan trauma, bisa saja trauma kepada orang tua, ketakutan apalagi (yang) menjadi korban adalah anak-anak,” tambahnya lagi.
Sementara proses lama tidaknya pendampingan psikologi bagi korban pelecehan bergantung dengan tingkat trauma yang dialami.
“Tergantung ringan, sedang, parah. Kalau ringan ya cepat, nah kadang-kadang di layanan psikologi psikoedukasi bagaimana kita melakukan edukasi kepada anak-anak itu untuk tidak menjadi korban pada berikutnya. Berapa lama ya tergantung dari tingkat keparahan levelnya,” tandasnya.
Diketahui, sejumlah siswi kelas 4 MIS menjadi korban pelecehan seksual oleh guru laki-lakinya sendiri saat materi pelajaran indra perasa.(lta/abd/ipg)