Eddy Christijanto Kepala Satpol PP Kota Surabaya membenarkan sejumlah siswa peserta Sekolah Kebangsaan mundur karena orang tua peserta dari sekolah undangan tak menyetujui anaknya disebut sebagai remaja terjaring razia.
Eddy meminta tidak boleh ada yang merendahkan remaja terjaring razia, yang menjadi mayoritas peserta Sekolah Kebangsaan. Semua anak menurutnya berhak memiliki masa depan yang sukses.
“Artinya Sekolah Kebangsaan itu bukan untuk anak nakal. Sekarang yang masih berpolemik mereka merasa yang diperintahkan Disdik Jatim (Dinas Pendidikan Jawa Timur) itu dicampurkan anak-anak itu yang tidak pas. Jangan lah mendikotomi anak-anak. Kasihan, kita kan juga punya anak, kasihan orang tuanya, anaknya. Padahal belum tentu lho, anak-anak yang bermasalah itu jadi tidak sukses,” beber Eddy dikonfirmasi suarasurabaya.net, Kamis (23/2/2023) sore.
Sementara terkait Sekolah Kebangsaan yang semula diwacanakan untuk 75 remaja terjaring razia per Desember 2022 lalu, Eddy menyebut sebenarnya bukan untuk itu peruntukannya.
“Jadi yang Desember itu razia-razia ada yang terjaring, itu kan anak-anak mau dimasukkan Sekolah Kebangsaan. Tapi sebenarnya, Pak Eri (Wali Kota Surabaya) sudah punya program Sekolah Kebangsaan itu, siswa-siswa SMP-SMA itu,” jelasnya.
Eddy melanjutkan, tidak sesuai rencana sebelumnya, ternyata Sekolah Kebangsaan yang digembleng TNI di Lanudal Juanda minimal harus diikuti 100 peserta. Sehingga Pemkot Surabaya meminta bantuan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur mencarikan siswa-siswi sekolah lain untuk memenuhi kuota.
“Kebetulan kemarin dibuka. Sebenarnya satu gelombang itu 100 orang. Akhirnya kita minta tambahan untuk bisa genapkan 100 akhirnya cabang dinas nyari ke sekolah-sekolah. Dicariin kan menurut persepsinya dia (peserta pelajar yang mundur), dia itu anak yang gak punya masalah, baik-baik saja. Ya tidak apa-apa semua siswa masuk ke Sekolah Kebangsaan. Begitu di-blow up di media, 75 anak tertangkap masuk ke Sekolah Kebangsaan, orang tua merasa anak baik-baik. Padahal konsepnya bukan anak nakal atau baik (Sekolah Kebangsaan) tapi semuanya,” bebernya.
Hingga hari ini hanya 52 pelajar yang menjalani Sekolah Kebangsaan. Sisanya, selain sudah dijemput orang tua, sebagian lainnya terkendala ujian praktik sehingga tidak mengikuti kegiatan.
“Dari 75 anak itu ada SMK yang melaksanakan ujian praktik. Ada tambahan dari anak-anak Disdik Jatim, karena ada berita itu akhirnya orang tua menarik. Tidak apa-apa,” imbuhnya.
Eddy meminta orang tua dan seluruh pelajar di Surabaya tenang sekaligus memahami bahwa Sekolah Kebangsaan juga akan diwajibkan bagi semua pelajar dan pejabat Pemkot Surabaya nantinya.
Terpisah, M. Kasim salah satu orang tua siswi SMAN 3 Surabaya yang juga menjadi peserta Sekolah Kebangsaan mengaku anaknya sudah mundur karena tak mau diasumsikan sebagai anak terjaring razia.
“Anak saya Ketua MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) di sekolahnya. Jadi sekolahnya disurati Pemkot Surabaya sehingga ada empat siswi yang ikut. Kemarin hari Rabu sudah dijemput pihak sekolah, keempatnya pulang,” kata Kasim dihubungi suarasurabaya.net.
Menurutnya, agar tak ada salah paham bagi para orang tua serta mencegah siswa trauma, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selaku penyelenggara, membuat surat pemberitahuan tertulis yang menyatakan memang ada peserta pelajar yang ikut Sekolah Kebangsaan namun tidak pernah terjaring razia.
“Ada pernyataan tertulis dari penyelenggara (Pemkot Surabaya) untuk siswa-siswi yang tidak terlibat tawuran dan sebagainya, biar tidak menghantam rata semua terlibat,” imbuhnya.(lta/dfn/ipg)