Jumat, 22 November 2024

Pakar Pidana Nilai Teriakan Brigade Brimob untuk Pengaruhi Jalannya Sidang Kanjuruhan

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Seorang pasukan Brimob berteriak “Brigade” sambil membentuk lingkaran di tangan sehingga suara lebih keras sambil masuk ruang sidang Pengadilan Negeri Surabaya dalam sidang kasus Tragedi Kanjuruhan, Selasa (14/2/2023). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Fachrizal Afandi, pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Malang menilai tindakan sorak-sorak puluhan pasukan Brimob Polda Jatim atas perintah atasan, untuk memengaruhi jalannya proses persidangan.

Menurutnya, tidak mungkin puluhan pasukan Brimob melakukan teriakan-teriakan terorganisir tanpa disuruh atasan.

“Gak mungkin (tanpa perintah). Brimob itu polisi terkendali, mereka disiplin. Kalau mereka teriak-teriak sendiri apa bedanya dengan massa bisa. Kalau mahasiswa demo teriak-teriak itu wajar. Satuan khusus polisi terlatih kalau gak ada yang merintahkan gak mungkin,” kata Fachrizal, Rabu (15/2/2023).

Apalagi itu dilakukan saat mereka melaksanakan pengamanan pagar betis di lorong penghubung ruang sidang dengan ruang tunggu serta ruang jaksa.

“Artinya begini, kalau misalnya pengamanan berlebihan, perlu dipertanyakan apa itu untuk menekan hakim dan jaksa karena menjelang tuntutan dan vonis. Jadi pengamanan Brimob itu ngapain di pengadilan negeri. Kenapa bukan sabhara. Itu bukan tupoksi Brimob, itu yang perlu dipertanyakan. Kemudian, teriak-teriak dan sebagainya, Brimob itu kan semi militer. Mereka tidak akan berani begitu, kalau tidak diperintah atasannya,” tambahnya.

Bidang Propam Polda Jatim, lanjutnya, harus melakukan pemeriksaan pimpinan Brimob yang memerintahkan kemarin.

“Saya kira propam harus memeriksa itu (pimpinan Brimob). Perintah untuk menghadirkan Brimob itu siapa, itu harus dilacak. Organisasi polisi itu kan organisasi yang rapi, harus bertanggungjawab,” tegasnya.

Fachrizal juga menyebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Pengadilan Negeri Surabaya harus mengajukan surat protes tertulis jika merasa teganggu.

“Jaksa kalau merasa terganggu, harus protes tertulis, hakim juga, pengadilan harus protes,” tegasnya.

Tindakan pasukan Brimob, lanjutnya, menghina pengadilan.

“Ini contempt of court, kalau dilakukan dengan kesengajaan untuk menghanggu persidangan,” tambahnya.

Fachrizal menyebut, jika pengamanan diperketat, seharusnya untuk memastikan pengunjung sidang dengan skrining lebih ketat. Bukan malah membuat gaduh.

“Ya kalau banyak pengunjung datang (pengamanan) kan bisa di depan halaman kan cukup. Sampai satpam di pengadilan, security sampai menegur Brimob artinya ada masalah. Kalau itu terkendali? kan diskrining sajamnya apakah biar ga rusuh di depan cukup. Kalau diletakkan di depan persidangan persis kan bukan itu alasannya apa lagi teriak-teriak. Ini jelas berushaa memengaruhi jalannya sidang apalagi ini di Surabaya jauh dari Arema artinya potensi rusuh sangat kecil,” jelasnya lagi.

Sementara teriakan jargon “brigade” yang dikontarkan pasukan serentak, menggambarkan jika polisi enggan disalahkan dalam Tragedi Kanjuruhan yang memakan 135 nyawa dan ratusan lainnya luka.

“Korsa itu, semangat korsa artinya yang mereka yakini apa yang dilakukan di Stadion Kanjuruhan bukan salah mereka (polisi),” pungkasnya.

Diketahui, puluhan pasukan Brimob yang melakukan pengamanan pagar betis di sidang Tragedi Kanjuruhan keduabelas kemarin diusir security usai dianggap mengganggu jalannya persidangan.

Mereka berteriak jargon saat jaksa melintas dari ruangan menuju ke ruang sidang. Teriakan terus dibunyikan ketika tiga terdakwa anggota Polri masuk di belakang jaksa.

Pantauan suarasurabaya.net mereka akhirnya pergi setelah beberapa kali tetap meneriakkan jargon usai ditegur security. Kompol Muhammad Fakih Humas Polrestabes Surabaya menyebut tidak ada perintah pimpinan untuk menyuruh para pasukan teriak jargon. Pengamanan ketat puluhan Brimob di depan ruang sidang, belum pernah dilakukan sepanjang persidangan yang sebelum-sebelumnya. (lta/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs