Sabtu, 23 November 2024

AJI Mendesak Pejabat Pemkot Surabaya Tidak Menghalangi Kerja Jurnalis

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Logo AJI

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengeluarkan pernyataan resmi terkait dugaan penghambatan kerja jurnalis oleh Pemerintah Kota Surabaya. AJI mendesak agar Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya dan pejabat Pemkot Surabaya tidak menghalangi kerja-kerja jurnalis hanya karena ketidaknyamanan dan ketidaksukaan.

Pernyataan ini dikeluarkan setelah AJI menerima aduan dari Dewi Imroatin jurnalis JTV tentang dugaan pelarangan peliputan di wilayah Pemkot Surabaya. AJI sebagai organisasi profesi, merespon pengaduan itu dengan mengklarifikasi berbagai pihak, antara lain Humas Pemkot Surabaya dan Dewi sebagai pengadu.

Permintaan keterangan itu berkaitan juga dengan kronologi yang dijabarkan Dewi yang kemudian dikonfrontir dengan Humas Pemkot Surabaya. Hasilnya, AJI Surabaya konsultasikan dengan Ahli Dewan Pers di Jawa Timur terkait kasus ini. Konsultasi ini berkaitan dengan posisi kasus dan potensi pidana yang disebabkannya.

“AJI Surabaya menilai surat permohonan penggantian jurnalis JTV atas nama Dewi tertanggal 10 Oktober 2018 oleh Pemkot Surabaya merupakan bentuk intervensi yang melanggar kemerdekaan dan UU Pers. Meskipun bersifat permohonan, namun sikap tersebut menujukkan Pemkot masuk ke ranah redaksi sebuah media massa,” kata Miftah Faridl dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (12/10/2018).

Menurut Faridl, pada Pasal 4 ayat 1 dan 3 jelas disebutkan soal kemerdekaan pers yang berarti bebas dari intervensi. Artinya, Pemkot Surabaya melalui surat itu berpotensi melanggar Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Pers yang berisi tentang upaya menghambat kerja-kerja jurnalistik.

Dalam Undang-Undang Pers, subjek yang dilindungi bukan hanya media massa saja, tetapi juga jurnalis sebagai individu. Pelarang dan permohonan pergantian personel yang ditugaskan sebuah media massa oleh institusi apapun, berarti menghalangi jurnalis sebagai individu untuk melakukan kerja-kerja jurnalistiknya.

Di dalam surat tersebut, tidak dijelaskan apa alasan permohonan itu. Hal ini tidak lazim, mengingat Pemkot harus menunjukkan dugaan pelanggaran etik atau hal yang bisa dianggap menciderai kebebasan pers oleh Dewi kepada media tempatnya bekerja atau Dewan Pers, yang besifat sebagai aduan. Apabila hal itu tidak dilakukan, artinya permohonan tersebut bersifat subjektif.

“Tentu hal ini bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Pejabat publik tidak sepantasnya membawa urusan pribadi atau subjektivitasnya ke ranah profesi. Meskipun, pejabat publik tersebut memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan, tetapi dia tidak bisa membatasi apalagi melarang jurnais bertanya. Terlebih karena subjekitifitas itu sampai mengintervensi ruang redaksi,” tambahnya.

Berikut ini beberapa poin pernyataan AJI Surabaya:

1. JTV sebagai perusahaan tempat Dewi bekerja, tidak mengindahkan surat permohonan dari Pemkot Surabaya.

2. Agar Pemkot Surabaya segera mencabut surat tersebut dan tidak mengulangi perbuatan ini lagi karena berpotensi Pidana sesuai ancaman yang tertuang dalam Undang-Undang Pers.

3. Agar Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya atau pejabat lain tidak menghalangi atau perbuatan yang bisa mengganggu kerja-kerja jurnalis hanya karena ketidaknyaman dan ketidaksukaan.

4. Agar pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa pers, mengadukannya ke Dewan Pers.

5. Mendukung Dewi sebagai jurnalis tetap bertugas sebagaimana mestinya sesuai Undang-Undang Pers.

6. Mengimbau agar semua jurnalis berpegang teguh pada Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam kerja-kerja profesinya.(tin/bid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs