Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018, yang mengatur tentang pemberian kompensasi untuk masyarakat yang melaporkan kasus korupsi.
Dalam peraturan itu, pelapor kasus korupsi bisa mendapat imbalan dua permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara, dengan nilai maksimal Rp200 juta.
Arsul Sani Anggota Komisi III DPR RI menilai, PP tersebut justru berpotensi memicu ketidakstabilan hukum di Indonesia.
Arsul Sani Anggota Komisi III DPR RI (kopiah hitam) menjadi narasumber diskusi publik tentang imbalan buat masyarakat pelapor kasus korupsi yang diatur PP 48/2018, di Jakarta, Sabtu (13/10/2018). Foto: Farid Kusuma suarasurabaya.net
Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu melihat, PP 48/2018 belum menjamin keselamatan warga masyarakat yang melaporkan kasus korupsi.
Sementara, UU perlindungan yang ada sejauh ini baru untuk saksi dan korban, yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Padahal, perlindungan keselamatan bagi para pelapor kasus korupsi seharusnya juga menjadi perhatian, dan ada payung hukum yang jelas,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar di Jakarta, Sabtu (13/10/2018).
Di sisi lain, Sekjen PPP itu memprediksi peraturan pemerintah tersebut mendorong berbagai kelompok masyarakat (LSM) berlomba-lomba melapor ke KPK, demi mendapatkan imbalan.
“PP ini bisa melahirkan kelompok LSM yang bergerak di bidang korupsi, yang dasarnya tak jelas. Kelompok ini nanti bisa memanfaatkan, makanya PP ini harus lebih lanjut diatur,” ucapnya.
Arsul menyarankan, sebaiknya pemerintah lebih fokus merevisi UU Tipikor yang banyak mengatur pidana korupsi, termasuk tindak pidana korupsi di sektor swasta.
Sekadar diketahui, Jokowi Presiden sudah menandatangani PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PP 43/2018 itu juga sudah masuk dalam Lembaran Negara RI Nomor 157 Tahun 2018, dan diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 September 2018. (rid/dwi/ipg)