Bencana alam kembali menimpa Indonesia. Salah satunya adalah gempa Donggala dan tsunami Palu berkekuatan 7,4 skala Richter pada Jumat (28/9/2018) lalu.
Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 10 Oktober 2018, korban akibat bencana itu mencapai 2.045 korban. Sayangnya, penanganan terhadap psikologis remaja pascabencana belum menjadi prioritas. Padahal, usia remaja ini menjadi cikal bakal pembentukan identitas diri di usia dewasa.
“Bencana alam itu membawa perubahan struktur lingkungan, misalnya sekolah yang roboh, kehilangan benda kesayangan. Kemudian terjadi perubahan struktur keluarga dan sistem dukungan, contohnya anggota keluarga yang hilang, dan remaja menjadi saksi peristiwa yang tidak menyenangkan terkait dengan bencana,” ungkap Tjhin Wiguna dokter spesialis kejiwaan saat berbincang dalam seminar Mental Health Among Youth di Jakarta, Jumat (12/10/2018).
Remaja pascabencana, sambung dr. Tjhin, mengalami transisi kehidupan, seperti perasaan bersalah, khawatir terhadap masa depan, mengambil alih peran orang dewasa, perasaan rendah diri, dan kehilangan rasa percaya diri.
Menurut psikiater Anak dan Remaja yang berprakti di RSCM ini, peristiwa bencana ini akan terekam dalam otak, khususnya di hipokampus.
“Peristiwa tersebut seperti dicerna dalam otak, namun harus dibantu dikeluarkan. Sebab, bila dibiarkan akan mengarah pada perilaku conduct, perilaku yang berisiko. Misalnya saja, yang tadinya tidak merokok menjadi perokok. Atau yang sebelumnya tidur tepat waktu, remaja memilih begadang sembari bermain gitar,” jelas dr. Tjhin dari Divisi Pskiatri Anak dan Remaja, Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Oleh sebab itu, lanjutnya dilansir Antara, para remaja pascabencana memerlukan pertolongan pertama psikologis (psychological first aid) dalam menghadapi transisi kehidupan remaja pascabencana.
“Bila hal-hal tersebut tidak membantu mereka dalam pemulihan psikolgis, maka yang tadinya hopeless berubah menjadi depresi. Dan perubahan pada neurokimia ini berdampak pada perkembangan otak dan remaja bertumbuh menjadi remaja yang tidak baik,” tegas dr. Tjhin. (ant/nin/ipg)