Jumat, 22 November 2024

Pakar Minta Komisi Yudisial Tindaklanjuti Kejanggalan dalam Sidang Kanjuruhan

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Momen pemeriksaan saksi dalam sidang Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Fachrizal Afandi dosen pengajar hukum pidana Universitas Brawijaya mengkritik proses persidangan Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya yang dinilainya banyak kejanggalan.

Karena itu dia menilai Komisi Yudisial (KY) sudah seharusnya menindaklanjuti kejanggalan, seperti larangan penyiaran secara langsung persidangan. Menurutnya larangan tersebut menggambarkan pengadilan tidak terbuka, padahal sidang Tragedi Kanjuruhan statusnya terbuka untuk umum.

“Tidak boleh live streaming itu kan menunjukkan pengadilan tidak mau terbuka. Tapi tidak tahu apa (penyebabnya) karena (ada) tekanan. Yang jelas tidak mau diawasi seperti kasus Sambo (kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang sedang disidangkan di Jakarta),” tutur Fachrizal, Senin (6/2/2023).

Dilarangnya media melakukan siaran langsung persidangan, menurut Fachrizal, cermin bahwa pengadilan tidak bisa dijadikan tumpuan masyarakat bahkan korban untuk mencari keadilan.

“Tidak mau di live streaming ini aneh karena kasus (persidangan) di Surabaya, korbannya di Malang. Ingin tahu persidangan sedangkan tidak mungkin orang Malang ke Surabaya setiap sidang. Apalagi rivalitas antara Persebaya dengan Arema. Harusnya kalau pengadilan betul-betul tempat tumpuan masyarakt mencari keadilan, mereka (pengadilan) benar-benar menunjukkan itu. Dalam sidang Tragedi Kanjuruhan, saya tidak nampak (melihat),” bebernya.

Kejanggalan lain, saat hakim justru memberi izin insidentil pada Bidang Hukum Polda Jatim (Bidkum Polda Jatim) menjadi tim penasihat hukum bagi tiga terdakwa anggota Polri di persidangan.

Kebijakan itu tetap dilaksanakan meski Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan keberatan. PN Surabaya berdalih karena dasar pertimbangan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan PP Nomor 3 Tahun 2003 Pasal 13.

“PP dan UU lahir sebelum UU Advokat. UU Advokat lebih baru dibanding UU Polri dan PP itu. Jadi harusnya, disesuaikan dengan UU atau hakim tahu lah kalau ada aturan yang lebih spesifik dan baru, ikut yang baru ini jelas. Dalam praktiknya (mengizinkan polisi jadi pengacara) itu conflict of interest,” terangnya.

Kehadiran Bidkum Polda Jatim sebagai pengacara atau pembela tiga terdakwa polisi itu, menurutnya hanya menunjukkan bahwa polisi tidak mau disalahkan atas 135 nyawa meninggal.

“Bagaimana mungkin Polda Jatim diwakili bidkum membabi buta menyalahkan suporter kalau kita lihat pertanyaan ke suporter (dalam ruang sidang). Kemudian menolak gas air mata (disebut) tidak membahayakan. Mereka kan mewakili kepolisian seolah-olah mereka ngomong 135 meninggal itu bukan salah poliisi,” jelasnya lagi.

Tindakan hakim itu, lanjut Fachrizal, bisa dilaporkan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan kode etik. Alasan insidentil terikat pada UU, tidak hanya independensi hakim seperti saat memutus perkara.

“Saya kira bisa di Mahkamah Agung di pengawas bisa dilaporkan untuk dilakukan pemeriksaan etik, ada masalah tidak. Kenapa alasan kuasa izin insidentil. Tapi, kalau putusan memang independensi hakim. Kecuali ada suap dan sebagainya baru bisa diperiksa. Kalau kebijakan mengizinkan pengacara independensi hakim tapi terikat ada UU dia (hakim) tidak bisa seenaknya,” tegasnya.

Kejanggalan lain, ketiga majelis hakim dianggap tidak aktif bertanya atau menggali keterangan saksi yang diperiksa di ruang sidang bertolak belakang dengan sistem inkuisitorial, yang dianut hukum acara pidana di Indonesia. Dimana hakim berperan besar mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim aktif menemukan fakta dan cermat menilai alat bukti.

“Sistem kita itu inkuisitorial, jadi hakim harus aktif bertanya mencari kebenaran materil beda dengan Amerika, adversarial dimana jaksa dan advokat itu sangat aktif, hakim hanya jadi wasit,” terangnya lagi.

Selain itu jumlah pertanyaan termasuk intensitas hakim bertanya seharusnya lebih banyak dibanding jaksa dan pengacara.

“Harusnya hakim lebih aktif dibanding jaksa dan pengacara kalau dia diam oke tiga pertanyaan atau dominasi lebih banyak jaksa dan pengacara, ini cenderung pasif jadi kelihatan tidak serius (mengungkap) kasus,” imbuh Fachrizal.

Atas kejanggalan-kejanggalan yang sudah terjadi tersebut, Fachrizal mendorong Komisi Yudisial bisa menindaklanjuti.

“Saya kira KY harus menindaklanjuti kejanggalan-kejanggalan kasus ini. Misal dimulai dari swal hakim izinkan polisi jadi penasihat hukum itu audah janggal dari awal. Itu conflict of interest sangat tinggi,” pungkasnya.

Berbeda dengan pakar, Agung Gede Pranata Humas PN Surabaya memahami sistem inkuisitorial adalah penuntut umum yang membuktikan persidangan dan aktif sesuai KUHAP.

“Karena penuntut umum punya kewajiban membuktikan dakwaanya. Kalau PU sudah mampu membuktikan hakim tidak terlalu banyak membuktikan nanti kesannya hakim berpihak. Kan hakim dituntut netral. Hakim tugasnya menggali apa-apa yang belum ditanyakan jaksa maupun pengacara. Kalau hakim merasa pembuktian cukup, tidak perlu banyak menggali karena sudah terpenuhi pertanyaan-pertanyaan penuntut umum maupun penasihat hukum,” pungkasnya (lta/bil)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs