Mulya Amri PhD Ahli Pembangunan Perkotaan menilai urbanisasi mampu membawa dampak positif pada pendapatan perkapita sebuah negara. Tapi, Indonesia sampai saat ini masih belum mampu mengoptimalkan manfaat ekonomi dari urbanisasi tersebut.
Amri mengatakan, berdasarkan data Bank Dunia 2016, Indonesia hanya mampu mengalami kenaikan 4 persen pada pendapatan perkapita setiap 1 persen kenaikan urbanisasi. Hal ini jauh berbeda dari China 9 persen dan India 13 persen.
Menurut dia, hal ini disebabkan kurang didukungnya industri padat karya di perkotaan. Sedangkan di sisi lain, industri besar juga tidak mampu menampung seluruh angkatan kerja yang ada.
“UMKM berperan besar dalam menyerap tenaga kerja. Sekitar 97 persen pekerja di Indonesia mencari nafkah di sektor UMKM, yang merupakan jumlah terbanyak di Asia Tenggara,” katanya, Selasa (16/10/2018).
Menurut Amri, Ekonomi Digital dapat membantu mengoptimalkan manfaat urbanisasi tersebut. Sebab, ekonomi digital mampu menghilangkan hambatan dan modal orang untuk menjadi pegawai, dan mendorong orang untuk berwirausaha.
Dia mengatakan, sepanjang tahun 2017 pemanfaatan ekonomi digital, khususnya dari sektor layanan on-demand menyumbang lebih dari Rp1,2 triliun pada perekonomian Jatim. Data tersebut berasal dari 200.000 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang sekarang dapat melayani pesan-antar makanan di seluruh Indonesia.
“Bila diilustrasikan, proporsi populasi Jatim sekitar sebesar 15% dari seluruh populasi Indonesia, artinya terdapat 30.000 UMKM di Jatim yang terlayani ke dalam ekosistem digital,” katanya.
Lalu, di transportasi daring bila diasumsikan 1 persen saja dari penduduk Jatim yang menggunakannya, hanya 40 ribu orang, dan hanya menggunakan 2 kali seminggu, berarti ada ekonomi sekitar Rp642 miliar.
“Kalau kita mau hidup di kota masa depan yang memberikan kemakmuran, inilah jalan yang harus dituju,” katanya.
Sementara, Bagong Suyanto Sosiolog Universitas Airlangga Surabaya mengatakan bahwa yang menjadi masalah bukan urbanisasi, tapi urbanisasi berlebih. Ukurannya kalau arus masuk penduduk dari desa melebihi kapasitas kota. Kalau yang masuk itu masyarakat profesional maka tidak masalah.
“Tapi, kalau yang masuk itu masyarakat yang missmatch dari kebutuhan kota, maka akan jadi masalah sosial baru,” katanya.
Namun, kata Bagong, di era masyarakat postmodern saat ini banyak sekali menciptakan peluang baru. Misalnya, ekonomi informasional yang bertumpu pada bertumbuhan digital yang tak kenal ruang dan waktu. Ini menjadi peluang tersendiri bagi masyarakat baik yang di desa ataupun urban.
“Sekarang memang muncul peluang baru. Tapi jangan salah, kalau pemerintah tidak mengelola dengan baik akan melahirkan masalah sosial baru,” katanya. (bid/edy)