Jumat, 22 November 2024

Polisi Jadi Pengacara Terdakwa Kanjuruhan, Jaksa Yakin Bisa Buktikan Fakta Sidang

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Rahmat Hary Basuki Jaksa Penuntut Umum, Kamis (2/2/2023). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap yakin bisa membuktikan fakta persidangan Tragedi Kanjuruhan, meski Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan Bidang Hukum (Bidkum) Polda Jatim menjadi pengacara untuk terdakwa polisi.

Rahmat Hary Basuki selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengaku, sudah mengajukan keberatan soal polisi aktif yang menjadi pengacara tiga terdakwa anggota Polri sejak awal persidangan. Namun tidak dikabulkan hakim.

“Kami juga sudah buat tembusan yang disampaikan teman-teman wartawan (Bidkum Polda Jatim jadi PH tiga terdakwa polisi). Sudah kita sampaikan dari awal sidang, dan pas eksepsi kami serahkan pada majelis. Sama, sesuai UU Advokat, jelas siapa yang boleh mendampingi terdakwa,” kata Hary saat sidang lanjutan, Kamis (2/2/2023).

Meski menurut sejumlah masyarakat keterlibatan Polda Jatim yang membela anggotanya sendiri terindikasi bakal menyulitkan jaksa, tapi Hary mengaku timnya tetap berusaha membuktikan fakta sidang.

“Kami tetap berusaha membuktikan semuanya. Termasuk keberatan-keberatan yang dicatat, harus jadi perhatian majelis hakim,” tegasnya.

Untuk diketahui, koalisi masyarakat sipil yang berasal dari sejumlah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan organisasi, mengajukan surat protes keberatan proses peradilan Sidang Tragedi Kanjuruhan yang ditujukan ke Ketua PN Surabaya.

Menurut Daniel Siagian Koordinator LBH Pos Malang, diizinkannya polisi yang sebelumnya merupakan pelapor, penyidik, dan yang menetapkan tersangka sebagai menjadi pengacara untuk polisi, bisa merusak kepercayaan publik. Sekaligus mencerminkan konflik kepentingan dan proses persidangan hanya bentuk formalitas.

“Dampaknya soal kepercayaan publik dalam proses persidangan secara transparan dan akuntabel. Itu jadi prioritas utama. Sehingga ada potensi persidangan ini hanya dilakukan formalitas saja, tidak melaksanakan berbagai ketentuan acara pidana. Mengingat, sebelumnya terdakwa polisi juga tidak dihadirkan langsung meski setelah itu dihadirkan langsung,” beber Daniel saat ditemui awak media.

Selain itu, diizinkannya anggota Polri jadi PH (penasihat hukum) menurut Daniel bertentangan dengan sejumlah undang-undang, yakni Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 4 Ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2003, dan Pasal 3 Ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2003.

“Dalam hal ini kami proses ke Ketua PN Surabaya, mengingat kuasa izin insidentil bisa dicabut jika tak sesuai peraturan perundang-undangan. (Kalau polisi memakai dalih Perkap Polri Nomor 2 Tahun 2017) tidak punya hierarki setara dengan peraturan perundang-undangan. Pembelaan hukum itu advokat,” imbuhnya.

Rinciannya ada tiga poin keberatan yang tertera dalam surat itu. PN Surabaya didesak agar menolak surat kuasa insidentil anggota Polri sebagai penasihat hukum, menyatakan anggota Polri tidak dapat jadi penasihat hukum di muka persidangan, dan menyatakan terdakwa hanya dapat didampingi advokat.

“Itu jadi satu keberatan kami, koalisi masyarakat sipil, kami juga dapat kuasa 12-15 keluarga korban Tragedi Kanjuruhan,” tegasnya.

Diketahui, koalisi masyarakt sipil itu terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum pos Malang (LBH pos Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta Lokataru dan IM 57+ Institute.(lta/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs