Dokter Risa Qohardita saksi ahli dari RS Wava Husada Kepanjen Malang yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan hari ini, Kamis (26/1/2023), memberi kesaksian kondisi korban meninggal yang dijumpainya.
Dokter Risa menyebut, mayoritas korban meninggal Tragedi Kanjuruhan mengalami kondisi kulit yang membiru dan sesak napas.
Diketahui, RS Wava Husada tempatnya bekerja, merupakan salah satu rumah sakit yang paling banyak menerima pasien korban Tragedi Kanjuruhan. Diperkirakan puluhan korban meninggal dibawa ke tempat ini usai kejadian.
“Ada yang luka warna biru, ada yang sesak,” kata Risa, saat memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Kondisi itu, menurut Risa, bisa ditemui jika pasien mengalami kekurangan oksigen atau gagal napas.
“Sepengetahuan saya, kejadian-kejadian itu karena kekurangan oksigen, karena gagalnya sistem pernapasan,“ ucapnya.
Tapi Risa mengaku tak tahu penyebab pastinya. Pasalnya dia tidak melakukan autopsi kepada para korban meninggal dunia.
“Bukan kapasitas saya karena tidak melakukan autopsi, tapi kalau dari kondisi-kondisi pasien, kemungkinan kurang oksigen,” ucapnya.
Namun, ada satu hasil visum korban atas nama Andi Kurnia yang disimpulkan mengalami perubahan warna mata menjadi memerah dan gangguan napas, akibat gas kimia.
“(Kena efek gas kimia) karena indikasi ada mata merah, mengenai mata dan pernapasan,” ujar Risa.
Sayangnya, Risa mengaku tak tahu detail kandungan dan gas kimia apa yang menerpa pasien itu. Ia juga tak bisa memastikan jika itu efek dari tembakan gas air mata.
Risa juga menggambarkan ulang, usai kejadian, korban berbondong-bondong dievakuasi ke rumah sakitnya.
Pada gelombang pertama, pasien masih bisa tertangani. Tapi, gelombang-gelombang selanjutnya, jumlah korban semakin banyak, sementara dokter yang berjaga hanya tiga orang.
“Jumlahnya terlalu banyak, tapi setelah didata yang meninggal dunia teridentifikasi 53 pasien, yang tidak teridentifikasi 15, yang dirawat 8, rawat jalan 43. Tapi data itu kurang valid karena mengira-ngira karena ada pasien yang tidak dilakukan triase, ada yang datang udah meninggal, lalu ada yang sudah dibawa pulang tapi belum terdata,” kata dia.
Meski begitu, ia mengaku berusaha sekuat tenaga menangani para korban. Mulai pemeriksaan napas, nadi, hingga memberikan oksigen, infus dan obat-obatan.
“Kami tetap lakukan triase sesuai kegawatannya, saat itu tidak ada nadi, napas, dan lain-lain, lalu cek detak dan efek cahaya kalau masih ada, kami lakukan pertolongan pertama. Tapi, kalau tidak memungkinkan, kami sendirikan di ruangan khusus,” ucapnya.
“Pasien prioritas pertama misalnya kejang, kami pasang infus dan oksigen, lalu masukan obat-obatan untuk menolong. Lalu pasien patah tulang, panik, dan lain-lain, kami kasih oksigen. Untuk pasien yang tidak ada kedaruratan, seprti komdisinya masih bagus dan oksigennya normal, kami arahkan untuk rawat jalan saja,” tambahnya.
Tragedi kasus Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 pascapertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan 583 orang lainnya cedera dalam tragedi ini.(lta/dfn/ipg)