Terdakwa AKP Bambang Sidik Achmadi eks Kasat Samapta Polres Malang mengaku telah melaporkan anarkisme yang terjadi dalam Stadion Kanjuruhan usai pertandingan 1 Oktober 2022 lalu selesai, namun tidak direspons AKBP Ferli Hidayat eks Kapolres Malang.
Itu diungkap saat dirinya diperiksa sebagai saksi untuk dua terdakwa Suko Sutrisno Security Officer dan Abdul Haris Ketua Panpel Arema FC di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (26/1/2023).
Tepat usai pertandingan, Bambang melihat beberapa penonton turun saat pemain Arema FC dan Persebaya Surabaya masih di lapangan. Hingga jumlah penonton terus bertambah. Steward berompi hijau, yang menjaga dalam stadion, mencoba menghalau. Massa yang semakin tak terkendali sampai akhirnya steward berompi oranye, yang menjaga di pintu atau luar stadion diperbantukan.
Petugas selain steward termasuk 29 pasukan di bawah kendalinya, lanjut Bambang, langsung membantu ketika pemain Persebaya dilempari suporter.
“Saat Persebaya sudah dilempari, kami melaksanakan perlindungan dengan tameng di atas kepala petugas agar akses pemain terlindungi. Pemain dievakuasi ke lorong menuju ruang pemain. Dari lapangan menuju ke lorong sudah ada lemparan. Sehingga saya harus ke depan lorong untuk melingungi, karena setelah lorong, tidak ada perlindungan lagi. Jadi kami melindungi agar pemain tidak kena lemparan,” papar Bambang saat bersaksi.
Bahkan, pasukannya sudah ada yang terluka akibat lemparan berupa botol, kaca, kayu, batu, dan benda-benda lain. Situasi anarkisme itu langsung ia laporkan melalui HT ke Kapolres. Tapi tidak ada respons yang diberikan.
“Saya melaporkan situasi anarkis-anarkis itu (melalui HT hitam). Saya menunggu HT putih (untuk menerima perintah dari Kapolres) tidak ada perintah,” tambahnya.
Bambang pun memutuskan tetap memerintahkan anggotanya bertahan mengamankan lorong akses pemain dari lapangan ke ruang ganti agar tidak jebol.
Namun untuk mencegah serangan penonton ke petugas lagi, lima amunisi gas air mata langsung ia serahkan ke dua anak buahnya. Anggotanya diminta menembakkan gas air mata itu satu kali ke tengah lapangan secara bersamaan dengan tujuan mengurai massa.
“Saya serahkan 5 amunisi total. Warna merah 3, kuning 2. (Perintah saya) tembak ke tengah lapangan satu kali. Setelah itu dari tengah lapangan (penonton) menuju ke tepi,” jelas Bambang.
Usai penanganan di lapangan, lanjut Bambang, ia berpindah ke luar untuk mengamankan pemain Persebaya yang memang menjadi tugas utamanya.
“Setelah menembakkan gas air mata di lapangan, (saya) keluar. Karena tugas saya mengamankan pemain Persebaya,” jelasnya lagi.
Ia tidak menjelaskan ada penembakan gas air mata lagi yang dilakukan anggotanya atau tidak. Menurut Bambang, usai konsolidasi, masing-masing personel yang tadi diberi gas air mata, hanya tersisa satu amunisi.
“Setelah konsolidasi masing-masing personel masih bawa satu amunisi,” kata Bambang.
Ia juga tidak berkomunikasi langsung dengan 29 anggotanya. Melainkan melaui dua kanit yang membawahi mereka. Meski Bambang juga tidak merinci ada tidaknya koordinasi penembakan gas air mata lagi selain perintahnya.
“HT dengan danton-danton atau perwira saya. Di bawah saya ada dua kanit. Satu kanit mengendalikan ada yang 14 (personel) ada yang 15,” jelasnya.
Senada dengan Kompol Wahyu Setyo Pranoto eks Kabag Ops Polres Malang, Bambang dalam kesaksiannya juga menyebut, dia bertanggungjawab melaporkan tindakannya ke Kapolres tanpa melalui Wahyu.
“Ke Ka Ops (Kapolres) tanpa melalui Karendal Ops (Kabag Ops). Melalui HT. HT yang saya bawa ada 2, hitam dan putih. Hitam untuk melaporkan masing-masing situasi di masing-masing lokasi. Putih untuk menerima perintah-perintah. Ka Ops Res Pam ada (di frekuensi yang sama). Karendalops juga ada,” beber Bambang lagi.
Keterangan itu bertolakbelakang dengan AKBP Ferli Hidayat mantan Kapolres Malang yang sudah bersaksi sebelumnya. Ferli menyebut tidak mengetahui dan tidak mendapat laporan kejadian dalam stadion. Ia juga sibuk mengevakuasi mobil barakuda pemain Persebaya yang dihadang massa.
Berbeda dengan AKP Hasdarmawan Danki 1 Brimob Polda Jatim yang juga memerintahkan anak buahnya menembak gas air mata ke lapangan, sudah mempertimbangkan penonton di area tribun akan panik dan berlarian. Sementara Bambang menyebut, penembakan itu tidak ada pengaruhnya ke tribun.
“Tidak ada efeknya, cuma tengah (lapangan),” tutup Bambang.
Tragedi kasus Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 pascapertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan 583 orang lainnya cedera dalam tragedi ini.(lta/dfn/ipg)