Terdakwa AKP Hasdarmawan eks Danki 1 Brimob Polda Jatim diperiksa sebagai saksi dalam sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan Kamis (26/1/2023).
Dalam kesaksiannya, ia memprediksi pintu tribun akan terbuka saat penonton panik akibat gas air mata yang ditembakkan anggotanya dan dapat keluar stadion.
Di bawah kendalinya, total ada 90 Brimob dari Porong yang berada dalam kompi 1. Artinya berisi tiga pleton, atau 9 regu. Masing-masing regu membawa satu senjata flash ball atau gas air mata.
“Total ada 3 kompi Brimob. Saya komandan kompi (danki) 1 Porong, kalau danki 2 AKP Nono dari Malang, kompi 3 dari Madiun,” jelas Hasdarmawan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Saat laga Arema FC melawan Persebaya Suarabaya 1 Oktober 2022 lalu, kompi 1 ditugaskan di ring 2 yang berada di sektor pintu-pintu masuk. Sementara kompi 2 di sisi selatan lapangan, dan kompi 3 di sisi utara
Namun, sekitar menit ke-75, lanjut Hasdarmawan, ia mendapat perintah dari AKP Dariyono Pasi Ops Brimob Polda Jatim untuk menggantikan pasukan kompi 2 di sebelah selatan.
“Setelah babak kedua mulai, saya dapat perintah dari HT kecil yang saya bawa dari Pasi Ops. Menit ke-75 menang atau kalah, masuk, gantikan kompi Malang (2) di selatan karena akan mengawal pemain Persebaya,” jelas Hasdarmawan.
Hingga pertandingan usai, pasukan di bawah kendalinya menggantikan kompi 2 di sisi selatan. Hasdarmawan mengaku melihat beberapa penonton masuk ke lapangan bahkan mencoba menerobos pasukannya.
Ia menginstruksikan pasukannya bergeser ke sebelah kanan dekat pintu yang sebelumnya jadi akses masuknya. Ia mencoba mengimbau massa kembali tapi tidak bisa dikendalikan.
Hasdarmawan mengaku sempat berkoordinasi dengan Pasi Ops Brimob, atasannya, tapi tidak ada respons.
“Saya berusaha melaporkan mengontak tapi tidak ada jawaban,” kata Hasdarmawan lagi.
Atas pertimbangannya sendiri, jumlah personelnya tidak sebanding untuk melawan ribuan penonton yang sudah menguasai lapangan. Akhirnya Hasdarmawan memerintahkan seluruh anggotanya (9 orang) yang membawa flash ball untuk menembakkan gas air mata.
“Kekuatan kami sedikit, 90 orang, penonton segitu banyak. Kalau tidak halau, akan banyak turun dan kami diserang. Saya tujuannya hanya untuk menghalau, jadi memerintahkan anggota untuk nembak ke mana sasaran yang kami dapat desakan,” bebernya.
Namun, dalam perintah penembakan itu, Hasdarmawan tidak menentukan area mana yang boleh ditembak dan tidak. Menurutnya, masing-masing anggota mengerti bahwa penembakan hanya boleh dilakukan di area yang mengancam. Tribun, lanjutnya bukan tempat datangnya ancaman sehingga harusnya tidak ditembak. Meski ia tidak menyampaikan kepastian ada tidaknya anggotanya yang menembak ke arah tribun.
“Iya (tergantung anggota menafsirkan mana arahnya),” imbuhnya.
Jaksa sempat mempertegas berapa kali perintah penembakan yang dilontarkan Hasdarmawan, ia sempat menjawab tidak memerintahkan lagi. Hingga akhirnya mengakui, setidaknya lebih dari empat kali dirinya minta anggota menembak gas air mata.
“Lupa, tapi lebih dari empat kali. (Itu dilakukan karena) setelah massa mundur ternyata maju lagi (menyerang petugas),” terang Hasdarmawan.
Usai penanganan di dalam, ia diminta lagi oleh Pasi Ops mem-back up pengamanan di luar. Sempat satu sampai dua kali perintah dilontarkan ke anak buahnya untuk menembak gas air mata menangani massa. Ia tidak menjelaskan kondisi di dalam sudah terkendali atau belum.
Tapi, Hasdarmawan mengakui tidak pernah menemukan situasi chaos suporter mengevakuasi sesama suporter yang berlalu-lalang di lobby saat keluar stadion.
Ketika ditanya jaksa soal ada tidaknya pertimbangan sebelum menembakkan gas air mata ke arah lapangan, Hasdarmawan mengaku sudah memprediksi akan terjadi kepanikan penonton yang duduk di area tribun.
Menurutnya penonton bisa lari karena pintu tribun sudah pasti terbuka usai pertandingan. Namun nyatanya, berdasarkan beberapa rekaman CCTV beberapa pintu stadion tertutup hingga penonton berdesakan dan banyak menimbulkan korban jiwa.
“Sudah (mempertimbangkan), karena sudah pasti pintu tribun sudah terbuka. (Tapi) efek gas air mata bukan cuma penonton, kami polisi juga kena,” tambahnya lagi.
Dalam kesaksiannya, ia juga mengaku baru pertama kali bertugas dalam pengamanan laga home Arema di Stadion Kanjuruhan. Hasdarmawan juga tidak pernah tahu ada larangan membawa gas air mata. Terlebih, dua kali rakor yang diadakan sebelum laga, ia juga tak pernah datang.
Tragedi kasus Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 pascapertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan 583 orang lainnya cedera dalam tragedi ini.(lta/dfn/ipg)