Jumat, 22 November 2024

Pengamat: Praktik Ngemis Online Terjadi Dipengaruhi Faktor Kemiskinan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilsutrasi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin. Foto: Pexels

Langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang meminta penghapusan konten ngemis online yang viral pada platform terkait, dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dasar/payung hukumnya dinilai sudah tepat.

Prof. Rachmaida Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, kalau Kemkominfo memakai UU tersebut sebagai payung hukum, justru akan salah sasaran karena beda persepsinya soal konten negatif.

“Karena UU ITE, yang disebut konten negatif itu adalah yang melanggar keasusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan berita bohong (hoax). Itu aja yang diatur,” kata Prof. Ida dalam program Wawasan Suara Surabaya.

Seperti diketahui sebelumnya, Kemkominfo memakai Surat Edaran Menteri Sosial (SE Mensos) sebagai payung hukum, terkait permintaan penghapusan konten ngemis online seperti mandi lumpur kepada platform seperti TikTok dan sebagainya.

Sementara terkait kemunculan SE Mensos itu, menurut Ida justru lebih tepat kalau diasumsikan sebagai langkah mengentas kemiskinan di dunia maya. Kata Ida, adanya konten ngemis online dapat diartikan kalau angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi.

“(Dengan adanya konten ngemis online tersebut) kemungkinan Kemensos merasa kalau ternyata masih ada orang miskin di negara saya. Karena itu mereka buat imbauan dan SE itu. Tapi kalau menurut saya, ya lebih baik dibantu (masyarakat miskin) dengan kebijakan baru biar berhenti konten ngemis-ngemis itu,” ujarnya.

Prof Ida menyebut kalau fenomena konten negatif yang beberapa waktu ini viral di Indonesia, bukan hasil inspirasi dari negara lain. Menurutnya tren seperti mengemis online hanya ada di tanah air.

“Penyebabnya bisa jadi karena hyper culture (budaya berlebihan) masyarakat Indonesia dalam mengakses internet saja. Selain itu juga adanya internet sub culture yang muncul di indonesia,” terangnya.

Selain itu, kata dia, media sosial punya sifat borderless (tidak punya batasan) sehingga banyak masyarakat berlebihan mengekspresikan dirinya. Salah satunya dengan ngemis online.

Menurut Ida, kebanyakan pelaku dan penggemar konten muatan negatif seperti ngemis online itu kebanyakan berasal dari kalangan middle to lower class (menengah ke bawah), yang hiburannya lebih banyak mengakses dari medsos dan televisi.

“Apalagi beredarnya narasi memperoleh uang dengan mudah melalui kreatifitas konten di internet, seringkali jadi inspirasi kalangan masyarakat tersebut untuk ikut serta membuat konten mereka sendiri,” ucapnya.

Namun, tak jarang konten yang dibuat kelewat batas dan banyak mengandung muatan negatif. Salah satu contohnya, dengan mengeksploitasi orang lain yang rentan, seperti miskin maupun lansia.

“Masalahnya juga, di konten mereka ini masih banyak yang istilahnya nyawer kalau TikTok mereka. Mereka (para penyawer) tidak apresiasi content creator-nya, tapi karena kasihan saja sama tallentnya yang kadang orang tua dan sebagainya,” ucapnya.

Tanggapan Masyarakat Soal Permintaan Penghapusan Konten “Ngemis Online”

Sementara itu, permintaan Kemkominfo terkait penghapusan konten ngemis online tersebut dipertanyakan banyak pihak, beberapa diantaranya dari pendengar Radio Suara Surabaya (SS). Salah satunya terkait definisi kata “ngemis” yang dimaksud.

“Biarkan netizen yang milih konten, karena kalau dihilangkan, definisi pengemis sampai mana? Jangan jangan gamer streamer dibilang ngemis,” ujar Rendi Kurniawan pendengar SS.

Selain itu, beberapa ada yang menganggap kalau tren ngemis online lama kelamaan akan hilang, tergantikan konten lainnya.

“Biar masyarakat nanti yang menentukan (soal banyaknya konten negatif yang beredar). Nanti juga hilang dengan sendirinya ketumpuk dengan konten lain,” Faukhan pendengar SS.

Adapun dari polling yang dilakukan Suara Surabaya Media khususnya di instagram, responden yang tidak mendukung penghapusan konten ngemis online cukup tinggi, yakni sebanyak 215 dari total 458 voters (33 persen). Sedangkan sisanya, 443 (67 persen) mendukung penghapusan.

Sedangkan dari data gate keeper Radio SS, pendengar yang tidak mendukung langkah kemkominfo itu justru lebih tinggi, yakni sebanyak 22 dari 40 voters (55 persen). Sementara sisanya, sebanyak 18 voters (45 persen) mendukung penghapusan. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs