Jumat, 22 November 2024

PBB: Ekonomi Global 2023 Diproyeksi Tumbuh Melambat, Hanya 1,9 Persen

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Bendera PBB. Foto: matthewhanzel.com

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat dari sekitare 3,0 persen pad 2022, menjadi 1,9 persen pada 2023. Hal tersebut jadi pertumbuhan yang terendah dalam beberapa dekade terakhir.

Laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia PBB 2023 memperkirakan pertumbuhan global akan meningkat secara moderat menjadi 2,7 persen pada 2024, karena beberapa hambatan ekonomi makro diperkirakan akan mulai mereda tahun depan.

Dalam laporan itu disebutkan, inflasi yang tinggi, pengetatan moneter yang agresif dan ketidakpastian yang meningkat, penurunan saat ini telah memperlambat laju pemulihan ekonomi dari krisis Covid-19 dan mengancam beberapa negara, baik maju maupun berkembang dengan prospek resesi pada 2023.

Dikatakan momentum pertumbuhan melemah secara signifikan di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara maju lainnya pada 2022, berdampak buruk pada ekonomi global lainnya melalui sejumlah saluran.

Di AS, Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan tumbuh hanya 0,4 persen pada 2023 setelah perkiraan pertumbuhan 1,8 persen pada 2022.

Pertumbuhan China diproyeksikan akan meningkat secara moderat pada 2023. Dengan pemerintah menyesuaikan kebijakan Covid-19 pada akhir 2022, serta dilonggarkannya kebijakan moneter dan fiskal, maka pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan meningkat menjadi 4,8 persen pada 2023.

Ini menunjukkan bahwa pengetatan kondisi keuangan global, ditambah dengan dolar yang kuat, memperburuk kerentanan fiskal dan utang di negara-negara berkembang.

Sebagian besar negara berkembang melihat pemulihan pekerjaan yang lebih lambat pada 2022, dan terus menghadapi kelonggaran pekerjaan yang cukup besar.

Laporan itu memperingatkan bahwa pertumbuhan yang lebih lambat, ditambah dengan inflasi yang tinggi dan kerentanan utang yang meningkat, mengancam untuk lebih lanjut menghambat pencapaian yang diperoleh dengan susah payah dalam pembangunan berkelanjutan, memperdalam efek negatif dari krisis saat ini.

Pada 2022 jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2019, mencapai hampir 350 juta.

Periode kelemahan ekonomi yang berkepanjangan dan pertumbuhan pendapatan yang lambat tidak hanya akan menghambat pemberantasan kemiskinan, tetapi juga membatasi kemampuan negara untuk berinvestasi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 secara lebih luas.

“Krisis saat ini paling parah menyerang yang paling rentan, seringkali bukan karena kesalahan mereka sendiri. Komunitas global perlu meningkatkan upaya bersama untuk mencegah penderitaan manusia dan mendukung masa depan yang inklusif dan berkelanjutan untuk semua,” kata Li Junhua Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial, dalam pernyataannya di laporan tersebut.

Pemerintah berbagai negara diminta untuk merealokasi dan reprioritas pengeluaran publik melalui intervensi kebijakan langsung yang akan menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali pertumbuhan.

Hal ini mengingat akan dibutuhkannya penguatan sistem perlindungan sosial, memastikan dukungan berkelanjutan melalui subsidi yang ditargetkan dan sementara, transfer tunai, dan diskon pada tagihan utilitas, yang dapat dilengkapi dengan pengurangan pajak konsumsi atau bea cukai.

“Pandemi, krisis pangan dan energi global, risiko iklim, dan krisis utang yang menjulang di banyak negara berkembang sedang menguji batas kerangka kerja multilateral yang ada. Kerja sama internasional tidak pernah lebih penting dari sekarang untuk menghadapi berbagai krisis global dan membawa dunia kembali ke jalurnya untuk mencapai SDG,” kata laporan itu.

Kebutuhan pembiayaan SDG tambahan di negara-negara berkembang bervariasi menurut sumbernya, tetapi diperkirakan mencapai beberapa triliun dolar AS per tahun, menurut laporan tersebut.

Komitmen internasional yang lebih kuat, kata laporan itu, sangat dibutuhkan untuk memperluas akses ke bantuan keuangan darurat, guna merestrukturisasi dan mengurangi beban utang di seluruh negara berkembang, dan meningkatkan pembiayaan SDG. (ant/bil/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs