Devi Athok ayah dari dua korban meninggal Tragedi Kanjuruhan NDR (16) dan NDB (13) hari ini mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Surabaya untuk menjadi saksi dari dua terdakwa, Abdul Haris Ketua Panpel Arema FC dan Suko Sutrisno Security Officer.
Dalam persidangan itu Devi Athok ditanya oleh Majelis Hakim apakah sempat mendapat perhatian oleh pemerintah setempat ataupun pihak-pihak terkait.
“Dapat dari pak Jokowi Presiden waktu di RSSA (Rumah Sakit Saiful Anwar), saya bilang ke pak Jokowi ‘tolong oknum-oknum yang membunuh anak saya dihukum’, pak Jokowi jawab ‘iya’. Sampai sekarang amplop masih utuh, saya tidak butuh donasi tapi butuh keadilan,” ucap Devi Athok di PN Surabaya, Selasa (24/1/2023).
Sepanjang menjawab pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Devi Athok berkali-kali menegaskan kalau penyebab dua putrinya meninggal karena disebabkan gas air mata. Bukan karena berdesakan apalagi diinjak-injak.
“Saya ikut memandikan dua jenazah putri sama kakak dan ibu saya, dari ujung rambut sama kuku tidak ada luka lebam sekalipun. Saya demi Allah. Busa terus keluar dari mulut, dan keluar bau amonia,” imbuhnya.
Saat mengenang malam tragis pada 1 Oktober 2022 itu, Devi Athok mengatakan pertama kali bertemu jenazah dua putri dan mantan istrinya di RS Wava Husada, Kabupaten Malang.
Saat itu, dua putri dan mantan istrinya tengah menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya. Ketiganya berada di tribun berdiri di gate 13. Namun situasi berubah mencekam saat suporter turun lapangan dan polisi menembak gas air mata ke arah lapangan dan tribun dengan dalih menghalau kerusuhan.
Atas persitiwa itu, Devi Atok bersaksi di hadapan Majelis Hakim dan JPU bahwa korban meninggal di tragedi Kanjuruhan yang ia temui di RS Wava Husada karena gas air mata. Sebab para korban mengalami kondisi yang sama seperti dua putrinya. Yaitu wajah yang membiru dan keluar cairan busa dari mulut.
Bahkan waktu berada di RS Wava Husada, Devi Athok mengaku sempat tidak mengenali dua putrinya karena ada perbedaan kondisi di bagian wajah. Dia baru mengenali putrinya saat melihat baju yang mereka pakai. Dua putrinya masing-masing pakai jersey Arema berwarna putih dan biru.
“Wajahnya udah berubah enggak mengenali,” ucapnya saat menjawab salah satu pertanyaan JPU.
Pascatragedi itu, Devi Athok bertekad untuk mencari keadilan atas apa yang dialami oleh dua putrinya. Dia menempuh cara autopsi untuk membuktikan kalau penyebab kematian mereka bukan karena berdesakan dan terinjak-injak seperti yang dikatakan oleh polisi.
Saat mencari jalan keadilan itu Devi Athok justru mendapat berbagai intimidasi karena berani mengajukan proses autopsi kepada dua anaknya.
“Didatangi polisi di rumah selama tiga hari, minta agar pernyataan untuk autopsi dicabut,” katanya.
Namun proses autopsi tetap berlanjut karena Devi Athok tidak membatalkan pengajuannya. Sayangnya, dia kembali dibuat kecewa dengan hasil autopsi yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jatim.
Sebab PDFI Jawa Timur mengumumkan tidak ada kandungan zat gas air mata yang ditemukan dalam tubuh korban saat diautopsi. Dokter Nabil Bahasuan Ketua PDFI Jatim menyebut bahwa kematian dua korban disebabkan oleh kekerasan benda tumpul.
“Saya tidak percaya hasil autopsi itu, padahal tidak ada luka lebam di sekujur tubuh dua anak saya,” tegas Devi Athok.(wld/dfn/ipg)