Jumat, 22 November 2024

Revisi Aturan Devisa Hasil Ekspor Perlu Diiringi Penerapan Sanksi Tegas

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Leaders’ Offsite Meeting (LOM) triwulan III-2022 di Semarang, Jawa Tengah pada 13-14 Oktober 2022. Foto: Antara

Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian mengatakan, revisi itu bertujuan supaya pertumbuhan ekspor dengan cadangan devisa selaras, sesuai arahan Joko Widodo Presiden.

“Arahan Bapak Presiden, ekspor yang selama ini terus positif perlu diikuti dengan peningkatan cadangan devisa. Oleh karena itu, Bapak Presiden meminta agar PP 1/2019 tentang devisa hasil ekspor diperbaiki,” ujarnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Yusuf Wibisono Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia mendukung langkah Pemerintah merevisi peraturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Tapi, dia memberikan sejumlah catatan.

“Revisi perlu menambahkan sektor yang wajib membawa pulang DHE, bukan cuma SDA, tapi juga sektor lain termasuk manufaktur. Itu sah-sah saja. Tapi, tidak akan menyelesaikan masalah selama kebijakan DHE hanya sekadar pencatatan DHE sudah ditempatkan di dalam negeri dengan sanksi yang cenderung ringan, umumnya hanya sanksi administratif,” ucapnya, Jumat (13/1/2023).

Menurut dia, banyak DHE yang tidak kembali ke Indonesia karena pengusaha menahan Dollar mereka untuk berbagai hal.

“Pengusaha membutuhkan devisa untuk kebutuhan impor, untuk membayar utang valas dan juga untuk antisipasi karena khawatir dengan ketidakpastian pasar valas. Bahkan, posisi hold Dollar menjadi pilihan menguntungkan untuk spekulasi,” ungkapnya.

Faktor yang paling jelas, sambung Yusuf, adalah bunga deposito Dollar yang jauh lebih tinggi di bank luar negeri dibandingkan bank di Indonesia.

“Itu ironis dan terlihat amoral karena DHE dari hasil kekayaan alam negara digunakan untuk keuntungan pribadi semata. Bahkan, dengan kerugian rakyat dari instabilitas Rupiah,” tegasnya.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) itu pun mendorong Pemerintah melakukan reformasi struktural.

“Yaitu mereformasi sistem devisa bebas. Kita seharusnya mulai menerapkan kewajiban repatriasi DHE dan kewajiban konversi DHE ke Rupiah, tidak perlu secara penuh, katakan misalnya 50 persen. Jadi, di satu sisi ketidakpastian pasar valas bisa ditekan dengan pasokan Dollar yang memadai. Tapi, di sisi lain pengusaha pemegang DHE juga masih tetap memiliki DHE dalam jumlah signifikan,” jelasnya.

Sementara itu, Fahmy Radhi Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, peraturan DHE lebih banyak menguntungkan pengusaha dibanding menambah cadangan devisa negara.

“Selain proyeksi pelambatan ekspor-impor, saya melihat peraturan yang ada selama ini lebih menguntungkan pengusaha daripada menambah cadangan devisa,” sebutnya.

Maka dari itu, Fahmy menilai langkah merevisi aturan tersebut memang sesuai dengan keperluan nasional. Sehingga, ekspor benar-benar memberikan tambahan yang signifikan bagi cadangan devisa.

Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, ketika harga dan permintaan komoditas melonjak, cadangan devisa tidak mengalami peningkatan signifikan.

“Setahun sebelumnya, ekspor minerba dan hasil tambang itu kan cukup besar semuanya. Kenaikan batu bara juga cukup besar. Tapi, faktanya tidak memberikan tambahan yang signifikan bagi cadangan devisa negara. Makanya aturan itu perlu direvisi,” tegasnya.

Selain persoalan aturan, Fahmy juga mendorong Pemerintah memaksimalkan aktivitas ekspor-impor untuk menambah devisa.

“Selain aturan tadi, yang memang harus diupayakan adalah peningkatan ekspor dan penekanan impor, sehingga ada tambahan devisa yang cukup signifikan,” pungkasnya.(rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs