Survei yang dilakukan lembaga Surabaya Survey Center (SSC) menunjukkan mayoritas masyarakat Surabaya masih berharap adanya uang di pemilu 2024. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta mengawasi secara menyeluruh.
Berdasarkan paparan data, 74,2 persen masyarakat memilih menerima uang yang diberikan calon. Itu berdasarkan survei ke 1.200 orang selama 1-10 Januari 2023.
Survei diperoleh melalui teknik pencuplikan secara rambang berjenjang (Stratified multistage random sampling) dengan penentuan responden dalam satu KK. Sebaran generasi responden, X (42-57 tahun) 33,2 persen, Y (26-41 tahun) 32,4 persen, Z (17-25 tahun) 22,8 persen, dan baby boomers (kurang dari 58 tahun) 11,6 persen.
Ikhsan Rosidi peneliti senior SSC menyebut, meski menerima, 30,7 persen masyarakat akan tetap memilih calon sendiri. Bukan yang memberinya uang.
“Menerima (dengan) pasti memilih 17,2 persen, menerima tidak milih karena pasti kodupsi 10,3 persen. Menerima dan pasti memilih cuman 17,2 persen. Serta menerima tapi memilih yang lebih besar 7 persen. Sementara yang tidak menerima 29,7 persen, serta 5 persennya tidak menjawab,” imbuhnya.
Besarnya persentase masyarakat yang memilih tetap menerima uang, menurut Ikhsan, bentuk nyata bahwa politik uang belum bisa terlepas dalam setiap gelaran elektoral.
“Ternyata hal yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap gelaran elektoral (politik uang), ternyata pengaruhnya tidak terlalu besar bagi tingkat elektoral si calon. Hanya 17,2 persen (yang pasti memilih calon). Itu artinya, bukan faktor utama membuat dia terpilih. Ada banyak faktor lain yang harusnya dia push (dorong) di situ,” bebernya.
Fakta itu mengharuskan badan pengawas pemilihan umum (bawaslu) untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh. Melibatkan petugas di lapangan hingga masyarakat.
“pengawasan N to N bisa nggak bisa. Jadi kalau kita menganggap politik uang penting dihindari, bawaslu harus buat skema sistem Pengawasan N to N, atas ke bawah, ujung ke ujung lain, dan melinatkan semua komponen. Petugas-petugas lapangan dan masyarakat dilibatkan penuh dalam proses pengawasan ini. Masalahnya, ketika kita melibatkan masyarakat justru masyarakat sendiri ingin itu. Jadi susah, tapi bukan tidak mungkin. Karena, banyak kejadian atau proses elektoral yang menang, tidak menggunakan uang,” terangnya lagi.
Mungkin saja pengawasan itu sudah dilakukan, tapi Ikhsan menyebut kebocoran masih sering terjadi di sana-sini.
“Mungkin sudah ada sistemnya, tapi pelaksanaannya belum terlalu optimal. Sehingga selali bocor sana-sini. Tapi, 2019 kemarin di kampanye terbuka sudah mulai sungkan calon membagi langsung uang transport atau apa. Karena, selalu ada petugas bawaslu di situ. Itu bagus tapi mulai diluaskan lagi, dari sisi ke sisi dilibatkan menyeluruh,” pungkasnya. (lta/iss/faz)