Wacana penggunaan pemilu proporsional tertutup yang dilontarkan Hasyim Asy’ari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang berbagi opini publik.
Ketua KPU mengatan, Pemilu dengan sistem tersebut punya keuntungan mulai dari efisiensi biaya, hingga bisa menghindari poltik uang yang dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) kepada masyarakat.
Namun ternyata, statemen tersebut dibantah. Bahkan menuai kritik dan kecaman mulai dari pengamat politik, akademisi, masyarakat umum, dan berbagai fraksi di DPR RI. Alasannya, wacana Ketua KPU itu dianggap bisa menjadi kemunduran demokrasi di Tanah Air.
Menanggapi hal tersebut, Heroik M. Pratama Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, sistem proporsional terbuka ataupun tertutup punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, termasuk soal money politic (politik uang).
Menurutnya, meski pemilu dilakukan dengan sistem proporsional tertutup, money politic justru bisa terjadi didalam internal partai.
“Praktik transaksi (money politic) bisa terjadi saat seleksi caleg didalam internal partai untuk berebut nomor urut,” ujar Heru sapaan akrabnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (5/1/2023).
Untuk diketahui, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif (caleg), melainkan partai politik peserta pemilu.
Surat suara hanya memuat logo partai, tanpa daftar nama caleg. Sementara untuk caleg terpilih, nantinya akan ditentukan partai berdasarkan nomor urut yang sudah diproses terlebih dahulu lewat sebuah sistem di internal parpol.
Kata Heru, kalau memang ada parpol yang mendukung penerapan sistem proporsional tertutup tersebut, biasanya partai yang sudah besar dan punya karakter hierarki di dalam internalnya.
“Kita contohkan kalau PDIP yang mendukung proporsional tertutup, karena memang sudah besar. Sebenarnya mereka tidak masalah kalaupun pakai terbuka atau tertutup. Tapi untuk partai-partai baru, mereka akan kesusahan dengan sistem proporsional tertutup karena tidak bisa memamerkan kader-kader populer-nya untuk mendulang suara,” ujarnya.
Sementara itu, dari polling yang dilakukan Suara Surabaya (SS) Media terkait hal tersebut, Kamis (5/1/2023), responden lebih cenderung memilih pemilu tetap dilakukan dengan sistem proposional terbuka.
Dari instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 126 dari 157 responden (80 persen) memilih pemilu tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, sementara 31 lainnya (20 persen) memilih dilakukan secara tertutup.
Sedangkan dari 25 pendengar yang menghubungi Radio Suara Surabaya, 22 orang (88 persen) memilih pemilu dengan sistem proporsional terbuka, sementara tiga sisanya (12 persen) memilih sistem tertutup.
Menurut Heru, banyaknya masyarakat yang cenderung memilih pemilu tetap dilakukan secara proporsional terbuka, alasannya karena bisa lebih dekat dan mengenal caleg pilihannya.
Apalagi, survey terbaru KPU menunjukan pemilih tahun 2024 mendatang akan didominasi pemilih baru sebesar 60 persen, yang terdiri dari generasi muda/milenial.
“Dalam demografinya anak anak muda atau milenial, dasar pemikirannya rasional choice. Artinya mereka selalu mikir untung-rugi untuk pilihannya. Ketika memilih partai a,b, atau c itu ditimbang apa kira-kira dampak yang bisa diberikan ke mereka,” pungkasnya. (bil/rst)