Vonis hakim untuk Doni Salmanan yang lebih ringan dibanding Indra Kenz, kendati kasusnya hampir mirip, menjadi kontroversi publik.
Maradona, pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga mengatakan, hukuman yang dijatuhkan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa karena Doni tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Indra menghimpun sejumlah uang hasil kekalahan, sedangkan Doni Salmanan tidak menerima hasil dari kekalahan, hanya dari promote.
“Hukum pidana tertatih menghadapi aktivitas baru seiring perkembangan teknologi. Binary option belum ada regulasinya, sehingga kekayaan yang dia dapat, dinilai sebagai bukan aset kejahatan,” kata Maradona dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (20/12/2022).
Dosen Fakultas Hukum Unair ini juga menyebutkan dengan lolosnya Doni dari jeratan pasal TPPU, asetnya yang sempat disita juga dikembalikan. Hal ini karena dalam hukum pidana, aset terdakwa yang telah disita, baru akan diberikan ke negara atau dikembalikan kepada korban jika pasal yang didakwakan terbukti.
Khusus aset hasil perjudian, tidak mungkin dikembalikan ke pelaku judi. Hakim akan memutuskan dirampas negara, bukan dikembalikan ke korban.
“Ada unsur perjudian dalam praktik binary option,” kata Maradona.
Dia juga mengingatkan meski vonis hakim tingkat pertama sudah lebih dari setengah tuntutan dan denda maksimal atas pasal UU ITE, jaksa masih bisa mengajukan banding.
Dengan adanya kasus ini, Maradona mengingatkan bahwa binary option bukan komoditas investasi karena hanya “tebak-tebakan”, tidak ada barangnya.
“Melihat perkembangan teknologi yang berbanding lurus dengan perkembangan model investasi, masyarakat harus jeli memilih. Pemerintah juga harus melindungi dengan regulasi,” ujarnya.
Perlu diketahui, dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Doni Salmanan dengan Pasal 45A ayat (1) juncto Pasal 28 Ayat 1 UU ITE. Dia juga dikenakan Pasal 3 dan 4 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tuntutan hukumannya 13 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 1 tahun penjara. JPU menilai Doni merugikan masyarakat dan menikmati hasil kejahatannya dengan gaya hidup mewah. Namun, majelis hakim memvonis Doni empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider 6 bulan penjara.
Doni terbukti bersalah karena menyebarkan informasi bohong kepada anggota Quotex, tapi tidak terbukti bersalah pada dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang. Alhasil, Doni terbebas dari tuntutan membayar ganti rugi restitusi pada para korban dengan total mencapai Rp17 miliar. Bahkan aset yang disita, dikembalikan ke terdakwa.
Hakim beranggapan aset yang didapat Doni sebagai afiliator aplikasi investasi opsi biner Quotex bukan merupakan hasil dari tindak pidana karena regulasi “trading” atau binary option disebut belum jelas.(iss/rst)