Jumat, 22 November 2024

Pakar: Pantura Jawa 2030 Jadi Atlantis Terlalu Dramatis

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Kereta api melintas di pinggir pantai jalur Pantura. Foto: Antara

Peta Proyeksi dari deteksi risiko lembaga nirlaba internasional, Climate Central menunjukan sebagian besar wilayah Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa diprediksi bakal tenggelam di 2030 mendatang. Sejumlah wilayah Pantura terancam akan hilang seperti fenomena ‘Atlantis’ atau tanah hilang akibat semakin tingginya air.

Merespon hal itu, Ir. Putu Rudi Setiawan Msc., pakar Tata Ruang dan Lingkungan Hidup ITS menyebut jika hal tersebut terlalu didramatisasi oleh sejumlah media.

“Headline di beberapa berita seperti Atlantis, tenggelam, kiamat, itu terlalu dramatis. Sebetulnya kalau kita baca laporan dari Climate Central ini ada beberapa parameter yang bisa kita teliti, yakni garis pasang surut dan tingkat datar tahunan. Ketika kedua parameter itu disatukan maka seolah-olah pantai utara Jawa itu memerah,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (14/12/2022).

Dalam peta tersebut beberapa daerah di Pantura Jawa yang berpotensi tenggelam ditunjukan dengan warna merah, artinya wilayah tersebut berada di bawah banjir tahunan.

“DKI Jakarta sampai 2010 itu hanya daerah barat saja yang warnanya merah, warna merah itu artinya dia berada di bawah banjir tahunan. Tapi yang di tengah maupun timur, tidak berwarna merah. Semarang juga sama, hanya Semarang barat saja (yang berwarna merah). Anehnya surabaya memerah semua mulai dari pesisir utara sampai timur,” jelasnya.

Dia mengatakan bahwa Climate Central sendiri menyebut bahwa laporannya memiliki peluang inaccuracy atau ketidakakuratan.

“Jadi peta itu memang harus dikaji lebih lanjut,” tegasnya.

Rudi membenarkan bahwa bencana-bencana hidrometeorologis yang terjadi saat ini disebabkan oleh peningkatan permukaan air laut.

“Laporan Bappenas menunjukan peningkatan permukaan laut mencapai 1-15 cm pertahun di beberapa titik. Kemudian tingkat banjir tahunan juga mengalami peningkatan. Akan tetapi Pantura dari dulu sudah menjadi backbone ekonomi strategis nasional. Dengan kondisi yang strategi itu tidak dikembangkan karena potensi dan peluangnya sedemikian besar,” jelas Rudi.

Terkait penurunan tanah, Rudi menyebut dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor fisik dan penyedotan air tanah yang berlebihan.

“Faktor fisik karena masifnya pembangunan seperti di DKI Jakarta. Kedua karena penyedotan air tanah yang berlebihan. Sudah jelas dari laporan media asing mengatakan bahwa Jakarta akan menjadi sinking cities, tetapi jika dibaca dari laporan Climate Central justru Jakarta berwarna putih, artinya dia (Climate Central) tidak mempertimbangkan pyshical storm atau badai dan rainfall juga,” paparnya.

Di Surabaya, lanjutnya, jelas terjadi penurunan tanah, tetapi intesitasnya tidak sebesar DKI Jakarta.

“Yang unik di Surabaya kalau kita lihat lagi bahwa daerah-daerah yang bukan termasuk pesisir itu masuk warna merah, seperti Gresik, Lamongan, sepanjang jalan Pantura nasional itu juga berwarna merah,” kata Rudi.

Menurutnya perencanaan pembangunan sudah mempertimbangkan aspek kebencanaan melalui instrumen mitigasi.

“Semua potensi bencana yang akan terjadi itu sudah dipertimbangkan, Persoalannya sekarang ketika dulu tidak pernah banjir, sekarang banjir itu karena terjadi climate change. Climate change ini yang tidak masuk dalam perencanaan pembangunan,” tuturnya.

Selain itu, terkait dengan perencanaan pembangungan kota, Rudi mengatakan terdapat perselisihan antara perencanaan dan implementasi.

“Yang sekarang terjadi di utara lebih banyak dikembangkan sebagai daerah perumahan yang masif, itulah gap perencanaan dan implementasi yang saya kira harus jadi pelajaran. Kita harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan pengendalian dan kinerja pengawasan agar ancaman yang di tahun yang akan datang itu dapat diantisipasi,” pungkasnya.(gat/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs