Sabtu, 23 November 2024

Sosiolog: Masyarakat Menggunakan Barang KW Supaya Eksis di Komunitasnya

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi tas wanita. Foto: Pixabay

Sebuah survei menyebutkan bahwa populasi kelas menengah di Indonesia suka membeli barang mewah palsu demi mengikuti tren global. Dalam survei itu, barang tiruan alias KW diminati karena konsumen kelas menengah tidak mampu membeli barang dengan merek mewah.

Padahal Indonesia memiliki aturan penggunaan barang palsu yang bisa menyebabkan seseorang dipidana selama lima tahun dan denda Rp2 miliar. Berdasarkan data yang dihimpun Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Indonesia rugi sampai Rp291 triliun pada 2020 akibat barang palsu.

Menanggapi fenomena tersebut, Prof. Dr. Sutinah Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Fisip Unair) menyebut bahwa dari sisi sosial hal itu biasa dilakukan oleh masyarakat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor.

“Kalau kita memperhatikan bahwa pengaruh internet sangat besar. Internet memudahkan untuk mencari barang-barang tersebut dengan mengunjungi berbagai gerai,” jelasnya dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (13/12/2022).

Selain itu, lanjutnya, penggunaan barang-barang KW juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat tersebut.

“Ada rasa tertekan dari teman-teman di komunitasnya untuk selalu mengikuti produk-produk yang dipakai oleh teman-temannya di dalam komunitas itu. Mungkin tidak bisa diterima di komunitas jika tidak menggunakan barang-barang tersebut. Jadi dengan menggunakan barang palsu salah satu cara untuk bisa eksis di komunitas,” kata Sutinah.

Dia melanjutkan, pengaruh lain yang membuat seseorang ingin menggunakan barang-barang bermerek paling banyak berasal dari influencer.

“Sekarang yang paling banyak berpengaruh itu dari influencer. Pengaruhnya begitu kuat apalagi memiliki pengikut yang banyak di sosial media,” tuturnya.

Di dalam masyarakat modern sekarang, Sutinah menyebut hirarki di masyarakat tidak ditentukan oleh tingkat ekonomi seseorang, melainkan tingkat belanja seseorang yang dapat menentukan strata sosial.

“Tingkat belanja yang menentukan strata. Hal itu karena orang tidak selalu menentukan bahwa belanja itu karena kebutuhan, tetapi karena keinginan. Keinginan misalnya dalam fesyen itu kan mengikuti mode yang saat ini lagi trending, jadi tidak terlalu memikirkan apakah itu asli atau tidak,” kata Sutinah.

Terkait dengan penegakan hukum tentang penggunaan barang-barang palsu, menurut Sutinah hal itu akan sulit dilakukan pada konsumen.

“Menurut saya susah untuk diterapkan, bagaimana kita tahu orang-orang itu membeli barang palsu, sementara banyak barang palsu yang dipasarkan. Tetapi kalau melakukan penindakan hukum kepada produsennya sepertinya bisa,” ujarnya.

Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan produk dalam negeri yang harganya lebih terjangkau.

“Kalau barang branded harganya sangat mahal, pemerintah bisa membuat semacam industri yang memproduksi barang asli namun harganya murah. Artinya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membeli barang-barang asli dengan harga yang lebih murah,” pungkasnya.(gat/dfn/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
34o
Kurs