Para peneliti di sebuah Universitas Swedia pada Minggu (11/12/2022), menyampaikan lebih dari dua bulan setelah kebocoran gas pertama di jalur pipa Nord Stream dilaporkan, tingkat metana masih tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi ekosistem.
Dalam siaran pers yang dikutip Antara, Senin (12/12/2020), sebagian besar gas metana yang bocor dari jalur pipa di dasar Laut Baltik tersebut tidak naik ke atmosfer. Sebaliknya, metana larut dalam air dan menyabar mengikuti arus.
“Dalam dua pekan pertama, kami melihat tingkat metana yang sangat tinggi, hampir terlalu tinggi untuk diukur oleh sensor kami dan mungkin hingga seratus kali lebih tinggi dari tingkat normal. Baru sekarang kami melihat penurunan kembali ke level normal, namun demikian kami bahkan terkadang masih melihat sisa-sisa metana yang sangat tinggi,” tutur Bastien Queste seorang Ahli Kelautan di University of Gothenburg.
Penelitian itu dilakukan bekerja sama dengan Voice of the Ocean Yayasan Penelitian Kelautan Swedia. Para peneliti mengerahkan robot bawah air untuk melakukan pengukuran berkelanjutan dan data dikirim ke peneliti melalui satelit.
“Metana dalam jumlah besar yang larut dalam air itu mungkin akan memengaruhi kehidupan laut,” papar Thomas Dahlgren seorang Ahli Biologi Kelautan di Departemen Ilmu Kelautan University of Gothenburg.
Dahlgren berteori bahwa penurunan metana yang cepat adalah karena dicerna oleh bakteri, sesuatu yang akan memicu fertilisasi berlebihan dan pengasaman laut.
“Itulah yang terjadi setelah kebocoran serupa di Teluk Meksiko pada 2010,” ungkap Dahlgren.
Sementara itu, Badan Energi Denmark melaporkan jalur pipa tersebut menyimpan sekitar 778 juta meter kubik metana ketika mengalami kerusakan.(ant/rum/ipg)