Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) wawasan kebangsaan untuk remaja Surabaya yang terjaring patroli pada 2023 mendatang.
Sebelumnya, Eddy Christijanto Kepala Satpol PP Kota Surabaya menyampaikan, wawasan kebangsaan bagi remaja atau pelajar yang terjaring patroli itu tengah dirumuskan bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Surabaya dan Tim Anggaran, bentuknya Diklat semimiliter.
Dalam diskusi yang diperdengarkan di Program Wawasan Suara Surabaya, pada Kamis (8/12/2022) 81,8 persen pendengar setuju dengan penerapan diklat semimiliter ini. Sementara sisanya tidak sependapat.
Begitu juga untuk polling di Instagram @suarsurabayamedia, sebanyak 84 persen netizen satu suara, setuju diklat semimiliter diberlakukan untuk remaja perusuh di Surabaya yang terjaring patroli.
Alasan masyarakat setuju sangat beragam, diantaranya menilai pelatihan semimiliter dapat membentuk karakter manusia berdisiplin dan cinta negara. Selain itu menambah wawasan kebangsaan dan nasionalisme, memupuk rasa persatuan dan kesatuan serta tak kalah pentingnya yaitu nilai-nilai sopan santun dan etika.
Sementara, Ivana Sajoko Psikiater Anak dan Remaja dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya menilai, butuh pendekatan yang tidak seragam dalam penanganan remaja yang membuat kerusuhan. Sebab penyebab perilaku remaja bermasalah, sangat kompleks.
“Person to person (berbeda). Jadi mengapa sih si A bisa begini? Mengapa si B bisa begini?” tuturnya saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya, Kamis (8/12/2022).
Ivana menduga bahwa remaja yang bermasalah ini memiliki gangguan dengan perilakunya yang disebut Conduct Disorder atau gangguan tingkah laku. Namun untuk memastikan itu, Ivana menyebut jika hal tersebut harus dilihat secara holistik.
“Apakah dia memang secara fungsi brain, fungsi otaknya itu ada masalah dengan area yang disebut sebagai amigdala? Atau kah mereka memang di dalam perkembangannya sejak awal mengalami gangguan perkembangan (neurodevelopmental disorder)?” paparnya.
Lebih lanjut, Ivana juga mengatakan dugaan lain mengenai perilaku yang dilakukan oleh remaja merupakan bagian dari seeking attention (mencari perhatian).
“Karena mereka ingin mendapat perhatian dari orang tua atau figur dominan yang lain, supaya tampak, ‘oh ini loh aku, oh ini loh gue’ dengan segala macam kondisi yang ada,” katanya.
Sebelumnya, Pemkot berencana menetapkan durasi pendidikan semimiliter selama 2 minggu hingga 1 bulan. Menurutnya ini akan sulit dilakukan.
Oleh karena itu ia mengusulkan sebelum pendidikan semimiliter dilakukan, perlu diadakan asesmen mengenai Conduct Disorder, salah satunya yakni menjalani Terapi Medikamentosa.
“Karena ini area bermainnya bukan hanya sekadar perilaku, tetapi amigdala-nya, hippocampus-nya, prefrontal-nya. Jadi ibaratnya dikenalkan dulu. Kalau inklusivitasnya berkurang, paling tidak kalau diajak bicara, masuk. Diterapi begini dia paham, ‘oh ini tujuan untuk ini’,” jelasnya.
Psikiater dari RSJ Menur itu juga menambahkan, itu diterapkan supaya dapat dipastikan apakah mereka benar-benar tergolong Conduct Disorder atau hanya ikut-ikutan. Ini karena ia pernah mendapati ada beberapa anak yang ikut suatu kelompok, hanya sekadar ikut-ikutan.
“Kalau saya pernah ketemu dan pernah merawat mereka, ada yang kehilangan kasih sayang, orang tuanya meninggal, banyaknya tuh begitu. Tapi karena lingkungan sudah membentuk mereka seperti itu, akhirnya mereka terbawa dan merasa nyaman. Akhirnya membentuk komunitas yang meresahkan masyarakat,” jelasnya.
Terkait hal ini, Ivana berharap perlu adanya kerja sama antarlembaga terkait untuk menemukan akar masalah.
“Kemudian yang kedua adalah screening. Screening tentang deteksi kesehatan jiwa anak dan remaja karena itu sangat penting sekali. Nah, itu tidak bisa kita profesional saja, tetapi harus melibatkan orang tua, tetangga, masyarakat ya, bahkan guru,” pungkasnya.(rum/dfn/rst)