Jumat, 22 November 2024

FK Unair: Perguruan Tinggi Berusaha Menambah Jumlah Dokter Spesialis

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Pixabay

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia termasuk negara ketiga terendah di ASEAN dalam pemenuhan jumlah dokter umum, spesialis, dan sub-spesialis. Rasio ideal jumlah dokter adalah satu per seribu penduduk, sedangkan Indonesia berada di posisi 0,46 per seribu penduduk.

Mursyid Bustami Direktur Utama di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional mengatakan, faktor penyebab rendahnya distribusi dokter adalah terbatasnya jumlah dokter spesialis di Indonesia. Idealnya rasio dokter umum dan spesialis adalah satu banding lima.

Selain jumlahnya yang masih kurang, terutama dokter spesialis dan sub-spesialis, sebarannya juga masih timpang. Brahmana Askandar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya mengatakan, lebih dari separuh (57,63 persen) dokter di Indonesia bekerja di Pulau Jawa. Sebagai contoh, terdapat 924 dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang berpraktik di Jakarta, 508 di Jawa Barat, dan 415 di Surabaya. Sebaliknya hanya ada 5 di NTT, 11 di Maluku Utara, dan 13 di Gorontalo.

Menanggapi kondisi ini, Achmad Chusnu Romdhoni Wakil Dekan 1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menyebutkan ada tiga hal penting yang mempengaruhi krisis dokter di Tanah Air, yaitu masalah produksi, mutu, dan distribusi.

“Universitas ranahnya pada produksi dan mutu. Kita menganut aturan pemerintah, pendidikan dokter spesialis harus di universitas,” ujarnya dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (6/12/2022).

Menurut dia, stakeholder perlu mendata jumlah dan sebaran dokter spesialis. Kalau dirasa masih kurang, universitas perlu mencetak berapa dokter yang dibutuhkan. Per awal tahun ini, Universitas Airlangga juga telah menambah kuota penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran.

“Berkurangnya sebaran dokter  juga dipengaruhi perubahan aturan dokter wajib bekerja di daerah untuk waktu tertentu. Dua tahun lalu diganti menjadi opsional, sehingga dokter yang memilih kerja di daerah berkurang,” katanya.

Hal lain yang mempengaruhi distribusi dokter spesialis yaitu kebijakan pemerintah daerah setempat karena hal ini termasuk otonomi daerah, bukan pusat. Jika di daerah rumah sakitnya bagus tapi dokternya tidak ada, penyebabnya perlu ditanyakan ke pemerintah setempat. Apalagi saat ini sudah banyak universitas yang memiliki fakultas kedokteran.

Besaran biaya studi dokter spesialis menurut dia juga bukan masalah terbesar. Saat ini pemerintah telah menyediakan beberapa beasiswa. Satu di antaranya LPDP. Biaya studi spesialis juga tidak sebesar biaya pendidikan dokter umum.

Universitas Airlangga sendiri telah menjalin kerja sama dengan rumah sakit tipe A milik TNI sebagai wahana pendidikan spesialis. “Kami berusaha memenuhi tujuh dari sebelas spesialis yang dibutuhkan pemerintah. Sekaligus untuk memperkuat distribusi karena penempatan dokter di rumah sakit TNI secara komando, vertikal dari atas,” tuturnya.

Sementara menanggapi berbagai keluhan dokter muda yang harus mendapatkan rekomendasi untuk melanjutkan studi spesialis, Achmad mengatakan hal itu untuk memastikan kompetensi dan kecocokan dengan spesialisasi yang diambil.

“Pemberi rekomendasi akan kami hubungi saat yang bersangkutan ada masalah. Misal ada kelemahan psikomotor padahal direkomendasi masuk spesialis bedah, kami komunikasikan. Prodi akan menyarankan masih bisa melanjutkan pendidikan, tapi dipindah,” ujar dia.(iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs