Budi Gunadi Sadikin Menteri Kesehatan (Menkes) dalam rapat kerja dengan komisi IX DPR, Selasa (22/11/2022) pekan lalu, menyebut orang kaya atau konglomerat membebani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kata Menkes, iuran BPJS Kesehatan orang kaya harusnya dikombinasikan asuransi swasta agar tidak terlalu berat bebannya ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu.
Akibatnya, pernyataan Menkes tersebut justru melahirkan narasi pemberitaan orang kaya dilarang bergantung pada BPJS, sampai muncul isu Kemenkes akan buat BPJS khusus untuk orang kaya.
Isu dan narasi tersebut akhirnya membuat Menkes mengklarifikasi pernyataannya, pada Jumat (25/11/2022) lalu. Menurutnya, BPJS Kesehatan harus dirasakan oleh semua segmen masyarakat, baik kaya maupun miskin. Namun, ia menganggap pentingnya penataan BPJS agar bisa lebih baik.
“BPJS harus melayani seluruh masyarakat Indonesia, baik miskin dan kaya. Idealnya, saya ulangi, BPJS harus meng-cover 270 juta rakyat Indonesia siapa pun dia. Cuma dia harus didesain dengan baik,” kata Budi, Jumat.
Menanggapi hal tersebut, Timboel Siregar Koordinator BPJS Watch kepada Radio Suara Surabaya, Senin (28/11/2022), menegaskan kalau jaminan kesehatan memang sudah seharusnya jadi hak seluruh warga negara baik kaya maupun miskin, seperti tercantum dalam pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain itu pasal 34 UUD 1945, dan UU Nomor 40 Tahun 2004 juga menjelaskan setiap orang berhak atas jaminan sosial kebutuhan dasar hidup yang layak, dengan menganut sembilan prinsip, salah satunya gotong-royong.
“Jadi selama ini pendapatan utama JKN itu ya dari iuran. Dari mana? ya orang kaya, miskin, sampai pejabat itu gotong-royong iuran. Bahkan tahun 2021 hasil penerimaan iuran mencapai Rp143,3 triliun dengan biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pembiayaan kesehatan seluruh masyarakat sebesar Rp 90,33 triliun,” jelas Timboel.
Untuk itu, Timboel mengatakan justru Menkes harusnya mengajak orang kaya atau konglomerat yang belum terdaftar, segera ikut program JKN tersebut untuk turut gotong-royong membangun sistem pelayanan kesehatan.
Karena, dari 270 data masyarakat yang harusnya ikut serta dalam program itu masih ada sekitar 13 persen yang belum mendaftar, atau baru 238 juta orang terdaftar.
“Saya menduganya, ini sisanya (13 persen) orang kaya yang tidak pernah ikut BPJS dan hanya menggunakan asuransi swasta,” jelasnya.
Menurutnya, program JKN saat ini surplus pendapatan sekitar Rp37 triliun. Sehingga kinerjanya lebih baik dibandingkan pada saat awal dimulai pada tahun 2014 dan 2015, yang mengalami minus pendapatan. Dengan pendapatan sebesar itu, lanjut dia, maka apapun penyakit masyarakat harusnya bisa dijamin oleh BPJS.
“Contohnya penyakit jantung, yang bisa menyerang orang kaya maupun miskin itu bisa ambil dari JKN sekitar Rp10 triliun. Kemudian gagal ginjal dan sebagainya. Kita tidak bisa melihat segemen mau yang sakit Jenderal TNI-Polri atau pemulung, karena di konsep gotong-royong tidak ada kata membebani. Tapi bagaimana jumlah pesertanya bertambah. Karena iuran semakin bertambah, berarti semakin mudah untuk membiayai,” terangnya.
Timboel menegaskan sanksi bisa diberikan kepada orang kaya yang enggan ikut partisipasi program JKN, seperti terncantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2013.
“Sanksi tidak dapat layanan publik seperti tidak bisa dapat paspor untuk keluar negeri, kemudian tidak dapat sertifikat rumah kalau dia habis beli rumah, atau tidak dapat SIM. Tapi ini yang selama ini memang belum diterapkan,” ungkapnya.
Dia menegaskan, dari hasil komunikasi pihaknya dengan jajaran direksi BPJS beberapa waktu lalu, sama sekali tidak ada rencana untuk membuat “BPJS untuk orang kaya” kedepannya.
“Baru kalau ada orang kaya yang ingin naik kelas, atau ke VVIP misalnya, silahkan. Biayanya bisa dibagi dari BPJS dengan asuransi swasta,” pungkasnya. (bil/rst)