Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), menolak gugatan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 66 Ayat (1), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (2).
Amar putusan itu merupakan hasil rapat permusyawaratan sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota,
“Meskipun pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, namun permohonan pemohon tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Sehingga Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman, Selasa (30/10/2018), di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Erdiana kuasa pemohon Sutrisno Nugroho (pemohon) mengajukan uji materi karena merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang berkeadilan terkait dengan pembatasan permohonan peninjauan kembali (PK).
Pemohon mendalilkan, permohonan PK selain perkara pidana seharusnya diperbolehkan, mengingat Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur batas PK masih berlaku dan bersifat lex generalis.
Pemohon juga mempertegas permohonannya berbeda dengan uji materi mengenai ketentuan PK lainnya.
Dalam dalilnya pemohon menilai Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 hanya memperbaiki Pasal 268 KUHAP, namun tidak mengajukan perbaikan UU MA dan Kekuasaan Kehakiman mengenai MK.
Sehingga UU MA dan Kekuasaan Kehakiman masih berlaku, baik untuk PK Pidana maupun Perdata, dan atas dasar hukum, belum dilakukannya perbaikan kedua UU tersebut.
Sekadar diketahui, Sutrisno Nugroho selaku pemohon adalah terpidana yang sebelumnya sudah mengajukan permohonan PK, tapi ditolak.
Pemohon kemudian merasa telah menemukan alat bukti baru (novum) sehingga kembali mencoba untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya. Tapi, upaya itu menjadi sia-sia karena adanya pembatasan dalam undang-undang a quo. (rid/tin)