Joko Widodo Presiden sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).
Dalam Perpres tersebut, Badan Urusan Logistik (Bulog) mendapat tugas menyelenggarakan CPP tahap pertama yang meliputi tiga jenis, yaitu beras, kedelai dan jagung.
“Dengan adanya Perpres 125/2022, harusnya Bulog bisa menyerap lebih banyak bahan pangan dari petani,” ujar Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Senin (1/11/2022), di Jakarta.
Sementara, Bulog menyatakan masih perlu menunggu peraturan turunan Perpres tersebut sebagai dasar operasional Bulog.
Dwi Andreas Santosa Ekonom CORE bilang momen itu harusnya bisa membuat Bulog berbenah diri menjadi lebih profesional lagi.
“Satu perusahaan beras swasta nasional di Indonesia itu kapasitasnya hanya seperdelapan dari Bulog. Seperdelapan saja bisa bertahan dan semakin besar. Bulog kapasitas 8 kali lipat, tidak mampu. Artinya, ada permasalahan profesionalisme,” ucapnya kepada wartawan, Selasa (1/11/2022), di Jakarta.
Dia menjelaskan, biasanya Bulog sudah bisa menakar masuk dan keluarnya beras dengan sistem bantuan seperti Rastra dan Raskin.
Tapi, dengan berlakunya skema Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bulog seperti merasa kurang mendapatkan kepastian.
“Dengan sistem Raskin dan Rastra, ada kebocoran. Itu kenapa diganti ke BPNT. Keputusan pemerintah mengganti pola BPNT sangat menguntungkan penerima manfaat,” imbuhnya.
Walau begitu, Andreas menyebut Bulog masih menjalin kerja sama dengan Kementerian Sosial untuk penyaluran bantuan sosial. Bahkan, Bulog masih mendapat sejumlah fasilitas untuk menopang kerjanya.
“Apalagi Bulog dibanding swasta, ada keuntungan, ada gudang, bunga rendah. Dari sisi itu saja Bulog harusnya lebih untung dibandingkan swasta. Hanya memang Bulog harus diberi fleksibilitas untuk menjual di pasar,” jelas Guru Besar IPB tersebut.
Terkait Perpres 125/2022, Sugiyono Madelan Ibrahim Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menjelaskan aturan itu bukan coma soal beras, tapi juga mencakup komoditas pangan pokok lain.
Dia menilai, Perpres tersebut juga akan mengembalikan fungsi Bulog seperti dulu.
“Sebenarnya Perpres tersebut bukan hanya untuk menyediakan cadangan beras saja, melainkan juga pada banyak komoditas bahan pokok yang lainnya. Itu memberdayakan kembali fungsi Bulog seperti Orde Baru, mau pun untuk melaksanakan Undang-undang Perdagangan dan Undang-undang Pangan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Sugiyono menekankan upaya pencegahan krisis pangan jangan sampai dirusak dengan praktik yang menguntungkan segelintir pihak.
“Kondisi mencegah krisis pangan harus bebas dari kegiatan rente ekonomi dari keterlibatan swasta-swasta besar untuk memperoleh captive market dan katabelece (memo) di belakang Bulog/Badan Pangan Nasional yang memanfaatkan isu krisis pangan untuk mencari keuntungan,” tegasnya.
Dosen Universitas Mercu Buana itu melanjutkan, kinerja Bulog/BUMN Pangan untuk menyerap gabah dan beras relatif terbatas, sekitar 6 hingga 8 persen dari total produksi.
Gabah dan beras yang diserap Bulog seringkali di bawah harga pasar. Masyarakat akan menjual ke Bulog ketika harga jual di pasar lebih rendah dibandingkan Bulog pada kualitas yang sama.
Sugiyono juga mengungkapkan, cadangan beras pemerintah (CBP) 1 juta ton pada akhir 2022 juga tidak mudah dilakukan secara teknis mengingat kemampuan dan rekam jejak kinerja Bulog.
“Walau pun untuk menambah 1 juta ton simpanan sebagai cadangan beras pemerintah itu sekarang tidak mudah. Terlebih untuk menyerap beras yang berasal dari 60 persen yang ada di masyarakat. Hal itu secara teknis tidak mudah direalisasikan,” tambahnya.
Target 1 juta ton pada akhir 2022, sambung Sugiyono, bisa tercapai kalau Pemerintah mau membeli beras di atas harga pasar. Sayangnya, hal itu akan memicu kenaikan inflasi.
“Terkecuali untuk pengadaan cadangan beras, Pemerintah di akhir tahun ini membeli dengan harga di atas pasar. Tapi, kalau cara itu yang dilakukan, akan mempercepat laju inflasi,” pungkasnya.(rid/ipg)