Jumat, 22 November 2024

Warung NKRI Jadi Cara BNPT Tanggulangi Paham Terorisme

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Komjen Pol Boy Rafli Amar Kepala BNPT RI (tiga dari kanan) bersama para narasumber dialog kebangsaan bertema “Sinergi Bangun Masa Depan Indonesia Maju dan Harmoni", di Surabaya, Jatim, Sabtu (29/10/2022). Foto: BNPT

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia, menggelar dialog kebangsaan bertema “Sinergi Bangun Masa Depan Indonesia Maju dan Harmoni”, pada Sabtu (29/10/2022).

Dialog kebangsaan yang dihadiri langsung oleh Komjen Pol Dr. Boy Rafli Amar Kepala BNPT RI ini, sekaligus meresmikan Warung NKRI  di Jl Ketintang Baru XIV Surabaya. Menurutnya, keberadaan Warung NKRI  merupakan bentuk pendekatan lunak (soft approach) dalam menanggulangi paham radikal dan terorisme di Indonesia.

Komjen Boy menyampaikan, ada tujuh karakteristik ideologi radikal yang digunakan teroris untuk melakukan doktrin. Pertama penyalahgunaan narasi agama, sikap anti kemanusiaan, ekstrimisme, anti negara dan Pancasila. Ideologi transnasional ini, dinilai memiliki tujuan ideologis dan politik, serta bersifat intoleran dan eksklusif.

“Jangan sampai kelompok teroris ini mempengaruhi pihak-pihak anak muda kita ke depannya. Jadi kita berkolaborasi dengan pemuka agama, tokoh agama yang mewariskan prinsip Hubbul Wathon Minal Iman itu untuk terus menyuarakannya, dari masa ke masa, elemen masyarakat, jadi semua tercerahkan,“ ujarnya dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net

Meski ideologi radikal terorisme terus bergerak mencari pengikut, Komjen Boy mengaku dapat mengidentifikasi itu. Menurutnya, paham radikal terorisme di Indonesia ini seperti virus penyebar intoleransi.

“Makanya kita harus membangun sistem imunitas kita. Program Warung NKRI ini membangun sistem imunitas bangsa, menghadapi pemikiran intoleran, menghadapi yang setuju dengan paham-paham ideologi terorisme,” tambahnya.

Sementara itu Emil Elistianto Dardak Wakil Gubernur Jatim menambahkan, ada beberapa hal ciri seseorang bersikap intoleran setelah terpapar paham radikal, diantaranya absolutisme (kesombongan intelektual), ekslusivisme (kesombongan sosial), fanatisme (kesombongan emosial), ekstrimisme (berlebihan dalam bersikap), dan agresivisme (berlebihan dalam melakukan tindakan fisik).

“Tidak semua aksi radikal mempunyai basis keagamaan. Tetapi, tidak sedikit radikalisme yang terjadi atas nama agama,” terangnya.

Untuk mengantisipasi pergerakan teroris tumbuh di wilayah Jatim, dia menjelaskan bahwa di Jatim sudah ada aturan untuk mempersempit pergerakan teroris.

“Kita punya Pergub tahun 2012 nomor 55 tentang pembinaan agama dan pengawasan aliran sesat, penerbitan Pergub yang melarang keberadaan ISIS di Jatim, Perda Jatim nomor 8 tahun 2018 dan Keputusan Gubernur Jatim tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jatim,” tegasnya.

Mendengar hal tersebut, Dahlan Iskan mantan Menteri BUMN yang juga hadir dalam dialog itu, mengaku lega. Dia menilai regulasi Jatim tersebut dapat mempersempit pergerakan teroris, yang dapat membuat semua masyarakat takut.

“Kita tenang karena programnya sudah bagus dan tertata. Maka, bagi orang seperti saya kenapa terorisme itu tidak boleh terjadi? Karena itulah ancaman paling tinggi yang menakutkan banyak orang. Jadi unsur menakutkan banyak orang ini yang harus kita hilangkan,” tuturnya.

Menurutnya, teroris dapat menghambat kemajuan sebuah negara karena ketakutan yang ditimbulkan itu meluas. Oleh sebab itu, pria yang akrab disapa Abah Dis ini menegaskan, negara harus totalitas dalam melawan terorisme.

“Karena ini menimbulkan ketakutan yang meluas dan itu mengganggu pembangunan negara untuk menjadi negara maju, intinya itu. Terorisme itu yang paling mengganggu perencanaan kemajuan sebuah negara,” tegasnya.

Adapun Arief Rahman Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jatim memaparkan, penyebaran paham intoleransi, radikalisme dan terorisme kini semakin mudah. Hal ini dikarenakan penggunaan media sosial yang menjadi medium penyebaran informasi tak terverifikasi, semakin masif.

Apalagi di Indonesia saat ini pengguna aktif sosial media seperti Whatsapp, Twitter, Facebook, Youtube, Instagram dan TikTok mencapai 191 juta pengguna.

“Bangsa kita selama ini penuh dengan keramahan, adab sopan-santun seperti yang diajarkan para orang tua, local wisdom kita seperti itu. Tapi tidak kelihatan sama sekali sekarang ini di medsos kita,” ungkapnya.

Menurutnya, hal tersebut bisa jadi pupuk untuk menumbuhkan ekstrimisme dan radikalisme, jika terus dibiarkan. Oleh sebab itu, Arief  berharap masyarakat lebih bijaksana dalam bersosial media dan mencerna serta menyebarkan informasi.

“Apalagi informasi yang belum jelas kebenarannya dan cenderung menyesatkan serta memecah belah kesatuan bangsa kita. Jadi kalau publik lebih bijak dalam menerima informasi, ngga ada itu intoleransi dan perpecahan meskipun kita berbeda,” pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs