Santi Yuliani dokter spesialis jiwa yang praktik di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang mengatakan, distraksi kepanikan bisa dilakukan melalui metode memfokuskan perhatian ke indera pengecapan seperti memakan permen.
“Metode lebih simpel distraksi bisa melalui metode merasakan permen. Taruh permen apapun itu, yang penting rasanya cukup kuat sehingga memang bisa dianalisis, mungkin asam atau sifatnya pedas atau mint,” tuturnya dalam sebuah diskusi online yang diikuti Antara di Jakarta, Minggu (23/10/2022).
Distraksi dengan metode ini disebutnya bisa mengalihkan konsentrasi otak yang sedang merasakan panik atau cemas ke area pengecapan atau area rasa.
Ketika merasakan permen, otak akan fokus berpikir sehingga energi kecemasan yang tadinya terfokus ke amigdala, tidak terlalu banyak sehingga menurunkan ketegangan.
Amigdala adalah bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan proses emosi, perilaku, dan memori.
“Apakah bisa langsung tenang? Tidak juga. Tapi setidaknya kepanikannya tidak terlalu signifikan,” ujar Santi.
Menurutnya, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan rangsangan fisik seperti memijit area antara jempol dan telunjuk. Distraksi nyeri ini bisa memberikan efek nyeri pada fisik sehingga otak menganggap ada bahaya lain yang perlu direspon.
Rangsangan ini akan membuat otak menganalisis bahaya yang jelas dan terlihat, ketimbang bahaya mental yang tidak terasa.
“Jadi pencet diantara jempol dan telunjuk, dilakukan secara ritmik 10 sampai 15 menit. Jadi akhirnya otak berpikir ada bahaya lain yang perlu kita tindaklanjuti,” lanjutnya.
Santi mengatakan terjadinya overthinking atau memikirkan masalah terus menerus ini biasanya karena kurangnya referensi untuk menyelesaikan masalahnya. Maka, diperlukan konseling dengan psikolog atau tenaga ahli.
“Ketika kita bicara tentang overthinking, ini terjadi karena referensi penyelesaiannya mungkin terbatas. Tujuannya datang konseling dengan psikolog atau datang psikiater bukan buat dicarikan solusinya tapi dikasih referensi,” tutur Santi.
Kekurangan referensi ini juga bisa menimbulkan keputusasaan karena dirasa tidak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga Prefrontal Cortex atau otak bagian logika tidak bisa ‘membantu’ meredakan kepanikan karena kurangnya referensi menyelesaikan masalah.
“Itulah fungsinya membaca, berkonsultasi dan kemudian mengerem banjir informasi dengan memilih sumber yang terpercaya. Jadi si Prefrontal Cortex atau otak bagian logika ini betul-betul punya cukup modal untuk menenangkan amigdala,” ucapnya.
Santi pun menjelaskan ciri-ciri orang yang overthinking adalah adanya gangguan tidur, emosi tidak stabil, nafsu makan terganggu, dan terburu-buru mengambil keputusan.
“Jadi perhatikan perubahan kecil-kecil apakah ada masalah dalam tidur, apakah mulai masalah merespon pembicaraan dengan orang atau informasi, apakah jadi lebih mudah terburu-buru mengambil keputusan atau termasuk nafsu makan akhir-akhir ini bermasalah atau tidak. Kalau iya kemungkinannya sudah masuk kategori yang perlu dievaluasi,” pungkasnya.
Dokter spesialis jiwa ini mengatakan, jika mengalami masalah yang membuat berfikir terus menerus, disarankan untuk mencoba self help atau menolong diri sendiri dengan melihat video atau membaca mengenai referensi penyelesaian masalah.(ant/rum/iss)