Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur (Jatim) mencatat terdapat 24 kasus gagal ginjal akut pada anak di Jatim berdasarkan data yang dihimpun mulai bulan Juni hingga Oktober 2022.
“Kasusnya mulai bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober ini sudah mulai agak menurun. Di Jatim kasusnya ada di Surabaya dan Malang,” kata dr. Sjamsul Arief Sp. A (K) Ketua Ikatan Dokter Anak (IDAI) Jatim kepada Suara Surabaya, Kamis (20/10/2022).
Sjamsul menjelaskan, dari 24 kasus tersebut, sebanyak 15 anak dari Surabaya dan sisanya 9 anak dari Kota Malang.
“Jadi di Malang itu kasusnya 9 anak, meninggal 3 anak. Di Surabaya kasusnya 15 anak, meninggal 10 anak. Usia balita yang paling banyak, yang meninggal mayoritas usia 1-5 tahun,” jelasnya.
Dia menuturkan ketika anak sakit seperti panas, batuk, pilek, muntah, dan diare yang harus diwaspadai oleh orang tua adalah jumlah produksi urine pada anak tersebut.
“Yang harus diwaspadai dalam penyakit ini adalah monitoring produksi urine. Itu yang harus diperhatikan oleh orang tua, jadi dilihat kalau balita itu masih pakai pampers, setiap 6 jam itu harus dievaluasi. Isi urine itu adalah setengah ml/kg/jam. Jadi kalau misalnya 10 kg dalam 6 jam itu kurang lebih 30 ml jumlah urinenya, harusnya cukup banyak isi pampersnya,” terangnya.
Sjamsul menambahkan jika anak tidak kencing selama 6 – 12 jam agar segera dibawa ke rumah sakit.
“Nah ini produksinya tidak ada, kandung kencingnya kosong, tidak keluar urinenya karena ginjalnya itu yang rusak. Harus langsung dibawa ke rumah sakit, itu perlu pertolongan cepat. Kalau gawat bisa sampai memerlukan hemodialise atau cuci darah. Makanya kalau terlambat banyak yang meninggal itu,” katanya.
Sementera terkait instruksikan Kementerian Kesehatan yang melarang apotek di seluruh Indonesia sementara waktu menghentikan penjualan obat bebas berbentuk cairan atau sirop kepada masyarakat, ini karena zat Ethylene Glycol dan Diethylene Glycol yang terdapat pada obat sirop dicurigai menjadi penyebab penyakit gagal ginjal akut pada anak.
“Itu yang sementara dicurigai, Ethylene Glycol dan Diethylene Glycol. Zat-zat ini biasanya mencemari zat pelarut yang dipakai untuk obat sirop itu. BPOM membatasi penggunaannya tidak boleh lebih dari 0,1 ml gram. Cuma ini belum jelas dari zat-zat tersebut atau bukan, hanya agar meningkatkan kewaspadaan kita saja Kemenkes itu. Karena di Gambia itu kok penyebabnya Ethylene Glycol nah kita harus waspada,” kata Sjamsul.
Dia mengimbau agar masyarakat tidak menggunakan semua bentuk obat sirop untuk sementara ini.
“Sementara semua bentuk sirop jangan dipakai dulu. Ada yang namanya dry sirop, itu biasanya antibiotik di pabrik dibuat dalam bentuk bubuk. Kalau ada konsumen beli ke apotik, baru apotik mencampur dengan air. Nah itu tidak papa, tidak ada pelarutnya dengan obat, hanya dengan air. Yang diwaspadai itu obat batuk, obat panas, obat-obat yang lain yang memang langsung dari apotiknya dalam bentuk cair, sementara hati-hati dulu,” pungkasnya.(gat/dfn/ipg)