Sabtu, 23 November 2024

Pakar: Penerapan Reboisasi Dibarengi Tingginya Deforestasi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi deforestasi (alih hutan) menjadi perkebunan. Foto: Greenpeace

Suparto Wijoyo, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair) mengatakan penerapan reboisasi (penanaman kembali hutan gundul,–red) bagus untuk perluasan konservasi, namun di satu sisi deforestasi penebangan hutan,–red) yang terjadi lima tahun terakhir dinilai cukup tetap tinggi.

“Ada reboisasi, tapi juga ada deforestasi,” tuturnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Rabu (19/10/2022).

Ia mengatakan bahwa reboisasi yang dilakukan di beberapa wilayah khususnya di Jawa Timur bagian selatan, tidak konsisten dan tidak memadukan urusan pembangunan dengan konsep desain tata kelola negara yang klimatologis berbasis iklim.

“Deforestasi tercipta karena adanya peralihan lahan dan fungsi kawasan. Berawal dari yang mulanya hutan, kemudian di beberapa titik dikembangkan demi ekonomi kreatif. Seperti kini hutan ditanami tanaman jahe di wilayah-wilayah selatan. Kemudian pohon-pohon tegakkannya diubah untuk berbagai vegetasi yang tidak berstatus mampu menjadi bank air. Ini merupakan bagian yang kurang diperbaiki,” ujar Suparto.

Dia juga memaparkan, seharusnya konsepsi perhutanan dapat dikawal dan dimanfaatkan dengan pola-pola yang dekat dengan masyarakat. Namun, yang terjadi justru hutan diubah menjadi lahan jagung, non jati, non kayu, dan palawija. Hal tersebut dinilainya sebagai bagian deforestasi yang malah merusak.

Suparto mengaku, bahwa sejak tahun 2009 telah merumuskan regulasi lingkungan untuk membantu perekonomian para petani mengenai perhitungan matematika ekologis.

“Jadi setiap tegakan pohon dihitung, soal diameter pohonnya berapa, tingginya berapa, berapa jumlah daun, ada sensus pohonnya. Cacah jiwa pohon dilakukan. Kemudian setiap pohon ini juga dihitung berapa jumlah oksigen yang dihasilkan,” terangnya.

Menurutnya, jika hitungan tersebut dilakukan maka masyarakat yang hidup dekat dengan hutan itu tidak perlu mengganti ke tanaman palawija, namun menjaga agar hutan tetap lestari dengan mendapatkan insentif lingkungan. Selain itu, oksigen pun terpenuhi, tegakan pohon juga terjaga, serta bank air tersedia.

Selain itu, ia menyebutkan bahwa dinas kehutanan dan perhutani serta publik memiliki tanggung jawab yang besar atas hal tersebut. Sehingga, jika terjadi banjir dan longsor di suatu wilayah bisa dilakukan evaluasi tentang tata kelolanya.

“Ayo kita hitung semester ini tingkat deforestasinya. Kalau ada reboisasi, berapa tingkat reboisasinya dan kemudian bandingkan untuk memperoleh jumlah kebutuhan pohon. Jadi kadang-kadang tanam pohon sekadar tanam, tidak dihitung. Kita ini entah defisit atau surplus, pokoknya pakai mindset yang penting tanam,” pungkasnya.(rum/bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs