Tim Ekspedisi JawaDwipa akan menyusuri sepuluh daerah di Jawa Timur untuk melakukan pelacakan jalur gempa dan tsunami melalui manuskrip serta memori kolektif masyarakat, pada 14 November hingga 16 Desember 2022.
Sepuluh daerah itu yakni, Pacitan, Blitar, Malang, Lumajang, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Surabaya, Mojokerto, dan Tuban.
Trinirmalaningrum salah satu tim ekspedisi JawaDwipa yang juga merupakan Direktur Yayasan Skala Indonesia, mengatakan bahwa Pacitan masuk dalam skema perjalanan karena sejarah mencatat banyak terjadi gempa di wilayah itu, yakni pada tahun 1840, 1859, 1867, 1921, dan 1937.
“Tidak hanya menyimpan keindahan alam dan budaya yang banyak, tapi Pacitan yang merupakan wilayah selatan Jatim itu menyimpan sejarah kegempaan bahkan tsunami di daerahnya,” ucapnya saat berada di C2O Library & Collabtive Surabaya, pada Selasa (18/10/2022).
Malang juga daerah berpotensi bencana. Pada tahun 1994 malang terdampak tsunami, pada tahun 1967 terjadi gempa, kemudian pada tahun 2019 juga sempat diguncang gempa tiga kali.
“Malang merupakan salah satu daerah yang berpotensi bencana cukup besar karena berada di dekat laut, gunung Bromo dan Semeru,” ucap wanita yang akrab disapa Rini itu.
Sementara itu, Banyuwangi juga pernah terdampak tsunami cukup besar pada tahun 1994. Yang mana, kejadian itu juga berdampak pada daerah lain, yakni Lumajang, Malang, dan Blitar.
Lumajang sendiri berada di dekat laut selatan dan gunung Semeru. Pada tahun 1818 pernah terjadi gempa yang membuat gunung semeru erupsi pertama dan menimbulkan tsunami di Selat Bali.
Kemudian, Mojokerto juga pernah terjadi gempa pada tahun 2020. Begitu pun dengan Situbondo, juga terjadi gempa pada tahun 2007 dan 2018.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan bahwa di Tuban pada 2019 juga pernah terjadi gempa. Selain itu, menurutnya Surabaya juga memiliki potensi untuk terjadi bencana meskipun berada di perkotaan besar.
Ia juga menjelaskan, bahwa ekspedisi itu merupakan perjalanan menyusuri sesar aktif yang ada di pulau Jawa untuk menguak sejarah, kisah dan pengetahuan lokal masyarakat mengenai bencana.
Sedangkan, output dari ekspedisi itu yakni akan membuat buku, artikel populer, video pendek dan film dokumenter. Yang mana, juga akan diikuti dengan seri diskusi publik tentang pengetahuan dan ancaman bencana.
“Hasil dari ekspedisi ini nantinya akan kami advokasikan pada pemerintah agar dapat dijadikan pertimbangan dalam kebijakannya,” pungkasnya.(ris/rum/ipg)