Sabtu, 23 November 2024

KDRT di Tanah Air Bagaikan Fenomena Gunung Es

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi Stop KDRT. Foto: Pixabay

Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Tanah Air menurut Astrid Regina Sapie Psikolog bagaikan fenomena gunung es. Apa yang terlihat di permukaan ternyata tidak sebanding dengan yang ada di bawahnya.

Perempuan atau istri dalam hal ini yang dominan menjadi korban KDRT, kata Astrid, akan berpikir berkali-kali sebelum bercerita atau mengadukan KDRT yang dialaminya.

“Ini karena dianggap aib. Perempuan yang jadi korban akan mikir seribu kali sebelum mengajukan pengaduan atau cerita karena nanti akan kena ke dia, dianggap menyampaikan aib keluarga. Banyak perempuan yang nggak siap kalau pisah sama suaminya dia gak punya penghasilan atau kehilangan status sosial,” kata Astrid saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Kamis (13/10/2022).

Ia menyebut ada dua faktor utama seorang suami menjadi pelaku KDRT kepada istrinya. Faktor pertama yaitu persepsi yang dianut kepala rumah tangga dan ‘modal’ yang dibawa suami sejak kecil.

“Karena yang laki ‘membawa kebiasaan’ atau persepsi bahwa salah satu tugasnya adalah mendidik istrinya, dengan itu dia punya hak untuk melakukan apapun kalau istrinya nggak nurut. Kedua, dia korban kekerasan waktu masih kecil, ada modal yang sudah terbawa si laki-laki, baik karena konsep pembelajaran yang diterima maupun diamati karena dia menjadi korban,” jelas Ketua Psikolog Klinis Jawa Timur ini.

Sedangkan untuk memutus mata rantai KDRT, menurutnya ini cukup sulit karena berdasarkan pengalamannya sebagai psikolog selama dua puluh tahun lebih, kasus KDRT terus ada dan jumlahnya bertambah.

Penambahan kasus ini bukan hanya karena dari pelaku, tapi stigma dan lingkungan di masyarakat Indonesia juga belum mendukung korban KDRT. Sehingga apabila ada KDRT, maka aparat penegak hukum masih menganggapnya sebagai masalah rumah tangga semata.

“Di Indonesia sebetulnya ada Undang-Undang Perlindungan Perempuan dan Anak, tetapi pelaku di lapangan belum sejalan sama penegakan hukumnya. Pada praktiknya polisi, hakim, ketua RT, ketua RW belum punya konsep yang sama, masih menganggap itu masalah rumah tangga.
Perempuan banyak yang nggak dipercaya,” sesalnya.

Untuk mengatasi ini bukan hanya tugas perempuan sebagai istri yang dituntut agar berdaya, tapi juga peran suami yang punya bekal pendidikan dalam mengarahkan rumah tangga.

“Sekarang ada kok kelompok di masyarakat yang percaya bahwa perempuan dan laki-laki itu setara, maka mereka akan membagi tugas rumah tangga dengan baik dan rasional, serta saling menghormati,” ujarnya.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs