Afif Kurniawan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) mengatakan bahwa perhelatan olahraga tidak hanya sebagai ajang untuk memotivasi para atlet, namun juga sebagai ajang untuk menggambarkan keragaman suatu daerah.
“Olahraga merupakan aktivitas yang iklimnya dilakukan dengan ajang kompetisi. Ada dua tim yang menampilkan permainan terbaiknya dan salah satunya akan keluar menjadi pemenang. Bagi suporter, mendukung tim kebanggaan sama dengan menggambarkan nilai kedaerahan mereka dengan segala keunggulannya,” ucapnya pada Selasa (11/10/2022).
Ia mengatakan, dalam suatu pertandingan sepak bola ada tiga hasil pertandingan yang bisa didapatkan yaitu menang, seri, atau kalah. Hasil pertandingan inilah yang ternyata dapat memicu emosi, baik dari pemain atau suporter.
“Kemenangan atau kekalahan keduanya akan menimbulkan dampak emosi,” kata Staf Pelatih Bidang Pengembangan Psikologi Atlet Persebaya pada 2017-2020 tersebut.
Afif menjelaskan, bahwa emosi yang muncul itu merupakan hal yang wajar terjadi. Emosi yang muncul dapat berupa perasaan sedih, senang, bahagia, gelisah, takut, cemas, hingga khawatir.
“Mereka terlibat langsung dalam drama di lapangan, terlibat langsung dalam nilai yang ada dalam kelompok mereka. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat memiliki edukasi yang tepat terkait dengan pengelolaan emosi. Menang atau kalah itu ada emosinya yang menjadi penentu adalah bagaimana cara meluapkan emosi. Jika berlebihan bisa memunculkan bahaya,” ujarnya.
Pasca tragedi di Kanjuruhan, banyak petisi bahkan tulisan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan seperti gambaran tempat kejadian perkara yang beredar luas di media, banyak didapatkan tanda-tanda kesedihan, kemarahan, hingga kekecewaan yang disalurkan melalui tulisan oleh para suporter.
Meninjau hal tersebut, dijumpai teori personal identity dan social identity yang melekat pada diri suporter. Afif menjelaskan dalam konteks supporter, itu akan dimaknai sebagai sebuah kebanggaan pribadi akan tim yang didukung. Namun jika banyak orang memiliki personal identity yang sama, maka akan menjadi social identity. Menurutnya, rasa kebanggan yang sama tersebut akan memercikkan kesamaan rasa antar tiap individu dalam kelompok suporter.
“Jadi mereka punya suatu rasa yang sama, memiliki pikir yang sama, dan pada saat itu terjadi akan muncul dukungan yang sangat besar,” tutur dosen Unair tersebut.
Perasaan sama inilah yang menimbulkan emosi yang sama juga. Aksi dan reaksi akan diberikan oleh suatu kelompok jika ada sesuatu yang terjadi. Suporter memiliki rasa yang sebenarnya berempati satu sama lain. Masing-masing dari mereka tidak ingin temannya disakiti sehingga timbul rasa ingin membela.(rum/ris/ipg)