Brahma Astagiri, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Univesitas Airlangga (Unair) Surabaya menanggapi konten prank laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan selebriti Baim Wong dan Paula Verhoeven di Polsek Kebayoran Lama Jakarta, dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak menghormati fungsi hukum.
Menurutnya, fungsi hukum adalah sarana dalam mewujudkan keadilan, terutama fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum.
“Oleh negara, pintu gerbang penegakan hukum pidana itu diletakkan pada institusi Polri. Nah kok, dibuat mainan seperti konten prank ini, seolah-olah tidak menghargai sama sekali fungsi kepolisian sebagai fasilitas yang telah disediakan oleh negara,” tutur Brahma, pada keterangan pers yang diterima suarasurabaya.net, Senin (10/10/2022).
Ia menilai prank tersebut harus ditindaklanjuti.
“Bahkan jika di Eropa, England dan Wales, tindakan semacam ini minimal bisa dikategorikan sebagai anti social behavior offense (ASBO) karena dianggap sebagai perbuatan yang tidak menghargai kepolisian sebagai fasilitas pelayanan publik yang disediakan negara,” tuturnya.
Brahma memaparkan bahwa secara formal laporan KDRT yang dilakukan Paula Verhoeven di Polsek Kebayroan Lama Jakarta Selatan belum diproses. Sehingga kepolisian masih terus melakukan penyelidikan tentang urgensi perlunya membawa tindakan prank tersebut menjadi tindak pidana.
Meskipun Baim Wong dan Paula Verhoeven telah melakukan klarifikasi dan takedown konten prank tersebut, kepolisian tetap memiliki wewenang penyelidikan.
Brahma menjelaskan tentang Pasal 220 KUHP yang dikatakan dapat menjadi pasal persangkaan tindakan Baim Wong dan Paula Verhoeven. Pasal 220 KUHP berbunyi, “Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Adapun unsur-unsur Pasal 220 KUHP yaitu adanya tersangka, melakukan perbuatan memberitahukan tindak pidana, tindak pidana yang diadukan tidak dilakukan atau tidak terjadi dan sanksi paling lama satu tahun empat bulan.
“Namun, sekali lagi apakah perlu diproses pidana atau tidak, tergantung pendekatan aparat kepolisian,” tutupnya. (rum/ipg)