Jumat, 22 November 2024

Stimulus Fiskal dan Kenaikan Suku Bunga Bertahap Kunci Hadapi Krisis Ekonomi Global

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi - Petugas menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar AS di pusat sebuah bank di Jakarta. Foto: Antara Ilustrasi - Petugas menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar AS di pusat sebuah bank di Jakarta. Foto: Antara

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengungkapkan, kebijakan bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga secara agresif adalah upaya meredam inflasi yang sudah terlalu tinggi.

Sekarang, sejumlah negara menghadapi risiko ledakan inflasi karena meningkatnya harga komoditas pangan hingga energi.

“Inflasi menjadi musuh terbesar dunia sekarang,” ujar Airlangga, Jumat (30/9/2022), di Jakarta.

Tauhid Ahmad Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan, badai global disebabkan krisis pangan dan energi yang dipicu konflik Rusia-Ukraina.

Indonesia juga tidak lepas dari imbas ketidakpastian global. Yang paling terasa adalah kenaikan harga bahan bakar minya (BBM).

“Pertama, dari komoditas pasti akan bergejolak harganya. Saya kira Rusia-Ukraina masih akan berlanjut sampai 2023. Karena perkiraan perangnya lama. Tentunya harga komoditas dan beberapa komoditas utama seperti bahan pangan, energi, minyak, gas itu tinggi. Jadi dampaknya ke kita, potensi inflasi dari BBM masih menghantui,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, menurut Tauhid, pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memberikan bantalan sosial (bansos).

“Apa yang harus dilakukan? Ya, Pemerintah harusnya memberikan stimulus fiskal. Bantalan subsidi pasti diperlukan,” tambahnya.

Sebelumnya, Pemerintah menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.

Kemudian, Pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022. Total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.

Selain kebijakan fiskal dalam bentuk bantalan sosial, Pemerintah juga perlu memperhatikan suku bunga acuan. Menurut Tauhid, upaya Bank Sental AS dalam menaikkan suku bunga guna menekan angka inflasi yang mencapai 8,5 persen juga membawa dampak pada Indonesia.

“Untuk mengatasi terjadinya inflasi yang tinggi di Amerika, sekitar 8,5 persen, The Fed akan menaikkan suku bunga bahkan hampir sampai 4 persen lebih. Dampaknya adalah akan terjadi capital outflow terbesar. Ini ancamannya nilai tukar Rupiah kita juga akan semakin melemah,” tegasnya.

Merespons kebijakan The Fed dan kondisi global, Tauhid menyarankan Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moneter secara bertahap dalam menaikkan suku bunga.

Beberapa saat lalu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 4,25%.

“Apa yang dilakukan? Mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan suku bunga BI Rate, kemarin kan 4,25 persen. Kemungkinan juga akan naik lagi. Memang dampaknya pasti suku bunga perbankan juga akan naik sampai 3-6 bulan ke depan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Tauhid mengungkapkan kenaikan suku bunga acuan akan diikuti cost of fund pada sektor riil akan ikut terdongkrak.

Hal itu akan menggangu para pelaku usaha. Mereka tidak bisa leluasa ekspansi ketika suku bunga terlalu tinggi. Oleh sebab itu, Tauhid menyarankan pemerintah tidak menaikkan BI Rate secara mendadak, tetapi melakukan revisi secara bertahap.

“Karena itu, kenaikan suku bunga harus secara bertahap. Sehingga, para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri. Itu harus dilakukan. Dampaknya juga suku bunga sektor riil. Mau tidak mau Pemerintah harus bisa mengkomunikasikan ke perbankan agar relatif jangan terlalu cepat juga menaikkan suku bunga, agar sektor riil bisa menyesuaikan,” pungkasnya.

Sementara itu, Pieter Abdullah Ekonom senior Center Of Reform on Economics (CORE) mengatakan, upaya Pemerintah untuk menyediakan bantalan sosial adalah upaya yang baik. Tapi, Pemerintah harus terus memastikan ketersediaan bahan pangan.

“Tugas Pemerintah, bagaimana memastikan stok pangan cukup. Cukup itu yang paling utama. Jadi, kalau pun ada kenaikan (inflasi) tidak akan terlalu tinggi dan besar. Apalagi diiringi dengan berbagai bantuan sosial,” katanya, Jumat (30/9/2022).

Terkait itu, Airlangga Hartarto Menko Perekonomian mengatakan, Pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebanyak 2 persen dari dana belanja wajib perlindungan sosial senilai total Rp2,71 triliun.

Dana itu antara lain digunakan untuk
Pemberian bantuan sosial, termasuk untuk tukang ojek, pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan nelayan.

“Kalau inflasi, yang paling penting menjaga inflasi itu sendiri, sementara bantuan tadi sifatnya mengurangi beban. Yang difokuskan mencegah agar inflasi naik tetapi tidak liar,” imbuhnya.

Dia menambahkan, kalau Pemerintah bisa menjaga inflasi di bawah 6 persen pada kondisi sekarang sangatlah baik.

Pemerintah pusat dan daerah pun perlu terus menjaga ketersediaan bahan pangan, khususnya komoditas yang masih berada dalam rantai suplai dalam negeri.

“Kalau domestic supply chain bisa kita kontrol. Nah, di situ fokusnya, supaya Pemerintah aktif memonitor pasokan yang ada di dalam negeri. Jangan sampai terganggu rantai pasoknya,” timpalnya.

Sementara itu, untuk komoditas yang berada dalam global supply chain, sekarang terganggu karena adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan juga krisis energi.(rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs