Sabtu, 23 November 2024

Saksi Ahli Pidana Kasus MSAT: Kemungkinan Persetubuhan Ada, Tanpa Paksaan

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Suparji Ahmad Ahli Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Selasa (27/9/2022). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Tim kuasa hukum MSAT terdakwa kasus dugaan pencabulan santriwati Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah Jombang menghadirkan Suparji Ahmad Ahli Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan yang berlangsung hari ini, Selasa (27/9/2022).

Ia mengatakan, berdasarkan fakta yang terungkap dalam sidang, tidak ada unsur kekerasan seksual seperti yang didakwakan.

“Jadi kalau lihat dari kronologisnya kan tidak ada tindakan yang berupa kekerasan atau kemudian ancaman kekerasan untuk dilakukan persetubuhan atau tindak pidana pencabulan,” ujar Suparji saat ditemui awak media usai memberikan keterangan dalam sidang hari ini di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Sehingga menurutnya tiga pasal yang didakwakan oleh JPU pada MSAT, tidak ada yang sesuai.

“Dalam persidangan tadi, saya menerangkan bahwa terdakwa tidak memenuhi unsur perbuatan-perbuatannya sebagaimana yang tercantum dalam dakwaan baik pasal 285, 289, maupun 294,” tambahnya.

Dua pasal pertama tidak terpenuhi karena menurutnya selain soal persetubuhan, juga ada unsur kekerasan. Sementara Suparji berkeyakinan tidak ada tindakan kekerasan fisik.

“Unsur di 285 maupun di 289 tidak terpenuhi karena unsur utamanya adalah selain persetubuhan di luar, selain di luar perkawinan adalah unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Demikian pula dengan 289 unsur utamanya adalah kekerasan atau ancaman kekerasan, itu yang tidak terbukti. Dalam pandangan saya, secara teoritis bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ada tindakan perbuatan-perbuatan yang mengarah ke pada fisik atau ada tindakan fisik sehingga korban tadi itu berada dalam situasi takut tercederai atau terancam tidak merdeka. Jadi tidak ada itu (kekerasan),” jelasnya.

Tapi Suparji tidak memungkiri kemungkinan persetubuhan antara MSAT dan para korbannya itu ada. Namun ia yakin tidak disertai dengan tindak kekerasan fisik.

“Sejauh pengetahuan yang saya miliki dari fakta tadi itu ada kecenderungan tanpa paksaan sebagaimana yang disampaikan oleh penasihat hukum tentang persetubuhan itu. Taruhlah terjadi misalnya, tapi tidak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,” tambahnya lagi.

Begitu juga dengan pasal 294, dakwaan terakhir pada MSAT, Suparji mengatakan itu tidak cukup kuat untuk menjerat MSAT. Karena, pasal itu menyebut pencabulan yang dilakukan atas dasar relasi kuasa. Sementara hubungan kuasa antara terdakwa dan santriwati ini secara tidak langsung, sehingga tidak memenuhi.

“Relasi kuasa di sini adalah adanya ketergantungan korban misalnya kepada orang yang melakukan karena hubungan murid dengan gurunya, hubungan pasien dengan dokter, hubungan anggota dengan pengurus, hubungan dengan orang yang dalam pengawasannya. Jadi ini kalau terjadi relasi bahwa diduga pelaku bukan guru secara langsung kepada korban, taruhlah seperti itu, sehingga tidak masuk,” paparnya lagi.

Selain dakwaan yang tidak kuat, alat bukti saksi juga menurutnya tidak mendukung. Sehingga, Suparji menilai kasus dugaan pencabulan MSAT ini seharusnya sudah terbit Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Terus pada sisi yang lain P19 nya lebih dari 3 kali. P19 yang sudah tiga kali itu mestinya perkara ini tidak lanjut karena tidak memenuhi syarat atau tidak layak,” tuturnya.

Suparji berharap hakim akan memutus perkara ini dengan adil bagi terdakwa maupun korban, jika seandainya betul ada tindakan pencabulan, tanpa terpengaruh opini dari pihak lain.

“Saya berharap persidangan ini tidak pengaruh opini tapi alat bukti fakta yang membentuk keyakinan hakim, sehingga menghadirkan keadilan bagi terdakwa dan menghadirkan juga keadilan bagi korban sekiranya dia adalah korban. Kalau bukan korban, maka jangan sampai orang yang tidak salah diperlakukan tidak adil,” pungkasnya.

Diketahui, JPU mendakwa MSAT dengan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman 12 tahun kurungan penjara, kemudian Pasal 295 KUHP tentang Pencabulan dengan ancaman 9 tahun penjara, dan Pasal 294 ayat 2 kedua dengan ancaman 7 tahun junto Pasal 65 ayat 1 KUHP.(lta/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs