Selasa, 26 November 2024

BRIN: Publik Punya Peran Mewujudkan Lebih dari Dua Pasangan Capres pada Pemilu 2024

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Suharso Monoarfa Kepala Bappenas berkumpul bersama Prabowo Subianto Menteri Pertahanan, dan Airlangga Hartarto Menko Perekonomian usai rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta. Foto: Istimewa

Survei Litbang Kompas menemukan 62,4 persen responden meyakini koalisi partai politik (parpol) yang sudah terbentuk sangat berpeluang berubah. Dengan kata lain, komitmen koalisi parpol yang terjalin sampai sekarang belum bisa menjamin gambaran koalisi sesungguhnya untuk Pilpres 2024.

Merespons hasil survei itu, Siti Zuhro Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai peta koalisi masih akan berubah hingga 2024.

Menurutnya, semua parpol masih akan terus melakukan penjajakan dan komunikasi politik untuk mencapai kesepakatan menghadapi pemilihan presiden periode mendatang.

“Itu tidak mudah disimpulkan. Kalau masih dalam taraf saling menjajaki, maka mereka butuh chemistry, butuh platform yang sama dan saling menguntungkan. Tentu mereka berpikir dua hal, pemilu legislatifnya dan pilpresnya,” ujarnya kepada wartawan, Senin (26/9/2022).

Melihat dinamika politik yang sedemikian cair, peneliti yang akrab disapa Wiwik itu bilang, butuh partisipasi aktif dari publik dan suara dari masyarakat sipil untuk mendorong Pilpres diikuti lebih dari dua pasangan calon.

Dia menambahkan, Pilpres 2014 dan 2019 sudah cukup memberikan pelajaran atas dampak pemecahan kelompok masyarakat akibat hanya ada dua pasangan calon presiden.

“Kalau masyarakat nggak aktif seperti 2014 dan 2019, maka akan ada dua poros lagi seperti yang mereka suka saja. Untuk apa pisah-pisah, bikin energi terkuras, toh nggak menang. Maka, sekarang ini sangat tergantung pada civil society,” ujarnya.

Wiwik melanjutkan, masyarakat sipil harus mendorong partai politik menjalankan fungsi representasi dengan menghadirkan lebih dari dua pasangan capres-cawapres.

“Kalau civil society kuat menyuarakan pelajaran dua kali pemilu membuat fungsi representasi yang harusnya dilakukan partai-partai tidak dilakukan. Itu yang harus terus disuarakan dan dampak-dampak dari hanya dua pasangan calon. Jadi, kalau civil society diam, mereka yang ingin dua pasangan capres saja akan melenggang,” ungkapnya.

Sementara itu, Silvanus Alvin Pengamat Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara menilai, bongkar pasang koalisi masih akan dinamis mengikuti situasi politik sampai titik final.

“Koalisi parpol yang dikatakan final tentu tergantung dari situasi politik yang berkembang. Bisa saja ada kejadian-kejadian yang belum kita tahu. Dalam berkoalisi, partai akan memperhatikan kebutuhan partainya. Jadi, masing-masing pasti tidak mau jadi beban, dalam koalisi ada partai yang jadi beban, maka partai lain pakai strategi memutuskan ekor cicak,” ungkap Alvin.

Sejauh ini, sudah terbentuk poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Gerindra-PKB, Nasdem-Demokrat-PKS, dan PDI Perjuangan yang belum berkoalisi dengan partai lain.

Sebelumnya, Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar bertemu dengan Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra.

Alvin memandang, pertemuan itu sebagai bentuk silaturahmi sekaligus penjajakan untuk koalisi.

“Sebenarnya, pertemuan Pak Airlangga dan Pak Prabowo menjalin kerja sama peluangnya besar karena sama-sama nasionalis. Dan keduanya ada latar belakang sudah bekerja sama di Kabinet Indonesia Maju. Masalahnya, koalisi belum final. Koalisi bisa berkurang dan bisa juga bertambah partainya yang bergabung. Tinggal bagaimana masing-masing pimpinan partai berkomunikasi,” jelasnya.

Selain silaturahmi dan bongkar pasang, Alvin menyarankan para petinggi parpol merespons tantangan zaman, terutama krisis ekonomi global, dan pemenuhan perut masyarakat.

“Karena sekarang publik lebih melihat siapa pemimpin atau partai yang bisa memberikan solusi praktis bagi rakyat,” tandasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Selasa, 26 November 2024
32o
Kurs