Permasalahan ekonomi kerap membuat seseorang terpaksa untuk berutang. Masih banyak stigma negatif masyarakat terkait orang yang berutang. Hal tersebut, mengakibatkan pinjaman online atau pinjol saat ini menjadi jalan pintas karena dianggap lebih memberikan kemudahan.
Melihat fenomena tersebut, Karnaji Sosiolog Universitas Airlangga mengatakan fenomena utang masih dianggap tabu di masyarakat.
“Yang pertama fenomena hutang itu kan belum menjadi sesuatu yang tanda kutip baik kan, masih dianggap tabu. Jadi orang berhutang itu dianggap tidak baik,” ujarnya.
Selain itu ia menjelaskan dengan adanya stigma-stigma negatif tersebut, menjadikan alasan masyarakat memilih beralih ke pinjol.
“Kemudian kenapa sekarang banyak yang terjerembab pada pinjaman online, di satu sisi rasa malunya masih ada. Kemudian yang kedua pinjaman ini kan tidak diketahui orang lain di sekelilingnya. Bahkan mungkin pasangan suami istri atau anaknya itu bisa tidak tahu kalau pinjam online. Ketiga, karena pengutang tidak berhadapan dengan orang tetapi berhadapan dengan mesin. Dan yang keempat, yang minjam ini tidak tahu seluk beluk sistem yang baru itu,” katanya.
Padahal penggunaan pinjol belum tentu aman karena ada banyak hal yang tidak diketahui calon peminjam.
“Bunganya berapa kita tidak bisa mengontrol penuh. Apalagi masyarakat kita kalau ada perjanjian banyak macem-macem itu kan tidak dibaca detail. Langsung tanda tangan, kadang setuju, oke, agree saja. Padahal terkadang ada pasal-pasal yang bisa jadi itu merugikan orang yang menandatangani perjanjian itu,” jelasnya.
Dalam kaitannya dalam kepedulian sosial, ia mencontohkan kehidupan masyarakat perkotaan yang memiliki kepedulian sosial atau interaksinya lebih rendah dibanding masyarakat pedesaan.
“Nah ketika masyarakat kota tidak saling kenal, terkadang mengakibatkan yang hutang lebih galak dari yang menghutangi. Bisa jadi kepedulian sosial atau interaksi masyarakat perkotaan itu rendah. Ketika hal seperti itu terjadi yang bisa dijadikan landasan adalah hukum-hukum formal, perjanjian hitam di atas putih. Jadi tidak perlu marah kalau hutang tidak dibayarkan, tinggal dibawa ke ranah hukum atau dilaporkan ke polisi saja,” tuturnya.
Selain itu kepedulian sosial yang kaitannya dengan utang juga dapat dilakukan dengan menghidupkan aktivitas ekonomi.
“Untuk dikota itu sebenarnya tidak harus diberi pinjaman (uang) ya, kalau mereka punya usaha, kemudian usahanya itu yang harus dihidupkan. Misal kita mau beli bakso, kita beli di tetangga yang kita kenal orangnya,” katanya.
Kemudian dalam masyarakat pedesaan, hal tersebut berlaku sebaliknya. Masyarakat desa mempunyai tingkat kepedulian sosial yang cenderung lebih tinggi. Sehingga tak jarang ketika ada orang yang berutang tidak akan dilihat sebagai utang, melainkan sebagai bantuan untuk keberlangsungan hidup orang tersebut.
Sementara itu, Akhyari Hananto Founder Good News From Indonesia (GNFI) menyampaikan kepedulian sosial dapat ditingkatkan melalui fungsi filantropi.
“Jadi ini fungsi bagaimana kita bisa peduli pada sekitar kita. Kabar baiknya yang pertama menurut World Giving Index ini riset yang dilakukan oleh world bank, jadi Indonesia ini masyarakatnya yang paling dermawan di seluruh dunia,” katanya.
Adanya hal itu Akhyari mengharapkan jika penobatan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang dermawan bisa lebih ditingkatkan dan berjalan secara berkelanjutan.
“Kesulitan ekonomi kan tidak datang sehari dua hari itu kan pasti berlanjut. Nah bagaimana sistem ini berjalan secara kontinyu (berkelanjutan), bagaimana orang yang mempunyai kemampuan financial berlebih itu bisa memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan. Ada hak disana itu, saya rasa peran-peran hak ini bisa dilakukan diberbagai tempat, mungkin di rumah ibadah, juga mungkin di organisasi-organisasi lain, bisa juga di media-media seperti Suara Surabaya,” pungkasnya.(gat/dfn/ipg)