Capaian ekonomi Indonesia bisa dikatakan tumbuh positif. Ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,44 persen di Triwulan II 2022.
Meski positif, pemerintah diingatkan untuk tetap berhati-hati. Ini mengingat kondisi ekonomi dunia masih cukup bergejolak dan potensi inflasi terbilang tinggi.
Badri Munir Sukoco, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Menilai, pertumbuhan yang terjadi menandakan mulai pulihnya ekonomi usai hantaman pandemi Covid-19. Tetapi, dia memprediksi pemulihan bakal berlangsung secara bertahap pada setiap sektor.
“Setiap sektor yang ada di dalam ekonomi kita pulihnya itu bertahap. Ada yang cepat, ada yang lambat,” ujar Badri dalam Focus Group Discussion (FGD) Economic Outlook 2023, Kamis (18/8/2022).
Badri mencontohkan pada kondisi yang terjadi di transportasi laut. Pulihnya sektor ini berjalan lambat lantaran terkena dampak langsung dari kondisi global dan menghambat percepatan ekspor.
“Transportasi laut yang sampai saat ini agak susah bergerak terutama ekspor-impor karena berbagai dampak global,” kata Badri.
Selain itu, Badri juga memandang paparan Jokowi Rabu lalu menimbulkan optimisme terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Tetapi di saat yang sama, Jokowi juga mengajak semua pihak untuk tetap ‘Eling lan Waspodo’ (sadar dan waspada).
“Ini dilakukan karena sebelumnya kita tidak pernah menduga Rusia menyerang Ukraina, kita juga tidak tahu sebelumnya bahwa 40 persen gandum kita disuplai dari Ukraina,” terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Fitradjaja Purnama, Wakil Ketua Umum Bidang Kerjasama Antarlembaga Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, menilai perekonomian Indonesia sudah menggeliat. Namun demikian, kondisi ini belum bisa dikatakan normal atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda.
“Tetapi kita sudah bisa percaya diri, sudah bisa optimistis karena kita tumbuh. Berarti kita ada income, berarti kita punya daya beli bagus, kemampuan savingnya bagus, berarti kemampuan investasi juga bagus,” kata dia.
Namun demikian, Fitra mengingatkan saat ini perekonomian sedang dibayang-bayangi ancaman inflasi yang tinggi. Sehingga perputaran ekonomi harus dijalankan secara hati-hati.
Tak hanya itu, Fitra juga mengingatkan tentang potensi krisis energi dan pangan. Krisis energi mungkin hanya terpantau lewat pemberitaan namun krisis pangan sudah mulai dirasakan dampaknya.
Dia mencontohkan, adanya kabar bakal terjadinya kenaikan harga mie instan tiga kali lipat akibat pasokan gandum dari Ukraina tersendat. Ini merupakan pertanda bagaimana krisis pangan sudah tampak.
“Meskipun kemarin Menteri Perdagangan sudah menyatakan, nggak kok, enggak tiga kali lipat,” kata dia.
Sementara, Sumrambah, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jawa Timur, mendorong pemerintah segera menerapkan kebijakan di sektor pertanian, peternakan, maupun perikanan yang mendorong peningkatan produktivitas. Ini penting diterapkan mengingat potensi krisis pangan mulai terlihat.
Sumrambah mengungkapkan dari sektor pertanian terjadi penyusutan lahan yang cukup mengkhawatirkan. Data BPA 2012 mencatat, lahan pertanian di Indonesia tercatat seluas 8,4 hektare namun pada 2019, luasannya turun menjadi 7,4 hektare.
“Ketika lahan semakin sedikit, kita akan menghadapi krisis pangan, kalau kita tetap seperti saat ini, dan tidak menyelematkan lahan pertanian maka pada 2045, lahan pertanian bisa menyusut jadi 6,3 juta ha. Sementara populasi penduduk semakin meningkat, sehingga berpotensi terjadi krisis pangan berkelanjutan,” ucap dia.
Untuk mengantisipasinya, pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Jatim perlu secara tegas menetapkan lahan sawah dilindungi. Selain itu, Pemprov Jatim perlu bekerjasama dengan pemerintah kabupaten kota untuk membangun kembali budaya pertanian. (gat)