Jumat, 22 November 2024

Sejumlah Ekonom Senior Bertemu Jokowi Bahas Hilirisasi Tambang Mineral

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Dradjad Hari Wibowo Ekonom senior Indef. Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Dradjad Hari Wibowo Ekonom senior Indef membenarkan soal bertemunya sejumlah ekonom, termasuk dirinya dengan Joko Widodo Presiden di istana. Ekonom tersebut di antaranya Hendri Saparini, Aviliani dan Esther Sri Astuti.

“Iya benar saya hadir dalam silaturahmi Jokowi Presiden dengan para ekonom hari Rabu 3 Agustus kemarin di Istana. Ekonom yang hadir antara lain mbak Hendri S dari CORE, mbak Avi dan mbak Esther dari Indef, Prof Nunung dari IPB, Prof Agustinus Prasetyantoko Rektor Atmajaya, mbak Ninasapti UI, Prof Ari Rektor UI, Asep Yadi SMERU dan beberapa ekonom dari bank,” ujar Dradjad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/8/2022).

Menurut Dradjad, acara dimulai dengan makan siang, disambung penjelasan Presiden dan diskusi yang dipandu oleh Pramono Anung Menseskab.

“Ada juga “ngobrol” informal dan guyon seperti ketika mas Pram dan saya saling celetuk soal politik yang membuat Presiden tertawa lepas,” jelasnya.

Kata dia, banyak kebijakan ekonomi yang disampaikan oleh Presiden. Dradjad sendiri menyoroti hilirisasi tambang mineral yang menjadi topik awal Presiden.

“Secara obyektif saya harus mengapresiasi apa yang yang sudah dicapai oleh Jokowi Presiden dan jajarannya. Mungkin saya akan dicerca, saya mengatakan ini karena Ketum PAN menjadi Mendag. Mungkin yang mencerca belum paham betapa panjang dan beratnya perjuangan hilirisasi di Indonesia,” kata Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Sejak tahun 2000an, Dradjad mengaku sudah berteriak soal industri hilir di DPR 2004-2009.

“Meskipun tidak ikut pansus, saya ikut mendorong hilirisasi dalam RUU Minerba. Mas Pram (Pramono Anung) salah satu tokoh kunci hilirisasi dari Fraksi PDIP saat itu. Yang kami lakukan hanya bicara dan berdebat. Itu saja tekanannya sudah super berat,” terangnya.

“Nah yang dilakukan oleh Jokowi Presiden adalah mewujudkannya. Beliau berhadapan langsung dengan negara besar dan pemain tambang global yang dirugikan. Jelas tekanannya jauh lebih besar,” imbuhnya.

Contoh konkretnya, lanjut Dradjad, adalah hilirisasi nikel dan kaitannya dengan ekspor besi/baja. Pada tahun 2012-2014 ekspor besi/baja Indonesia hanya berkisar USD 1.6-2.1 Miliar. Tahun 2019 ekspornya USD 7.9 Miliar. Setelah hilirisasi tahun 2020, ekspor besi/baja naik menjadi USD 11.3 Miliar (2020), bahkan melonjak hampir 2 kali lipat menjadi USD 21.4 Miliar pada 2021.

“Itu semua tidak akan tercapai jika hilirisasi nikel tidak dilakukan. Lawan yang dihadapi pun tidak main-main. Uni Eropa marah karena Indonesia melarang / membatasi ekspor bijih nikel pada 2020. Penyebabnya, industri baja di sana terancam kekurangan nikel, sementara Indonesia adalah eksportir nikel kedua terbesar ke Uni Eropa,” ungkapnya.

Dalam acara kemarin, dia melihat Presiden memiliki political will yang sangat kuat untuk hilirisasi. Tanpa itu, belum tentu Indonesia berhasil menghadapi tekanan Uni Eropa. Apalagi, Presiden tidak berhenti di nikel. Bauksit, tembaga dan mineral lain juga diharuskan ber-hilirisasi.

Ia mengatakan, manfaat hilirisasi jelas. Nilai tambah naik signifikan yang mendorong pertumbuhan. Neraca perdagangan dan pembayaran diuntungkan. Hal ini memperkuat stabilitas makro termasuk nilai tukar Rupiah.

“Kritik dan saran tentu ada. Pertama, kita perlu memperbaiki ekosistem bisnis, agar sisi pemerataan dari hilirisasi bisa maksimal. Pelaku usaha menengah dan kecil yang mendapat nilai tambah dari hilirisasi perlu diperbanyak. Kedua, hilirisasi agroindustri juga perlu digenjot seperti di tambang. Sawit contohnya, banyak dikerjai di Amerika Utara dan Uni Eropa. Jadi harus hilirisasi. Ketiga, hilirisasi migas perlu mendapat perhatian lebih. Puluhan tahun kita tergantung pada Singapura yang tidak punya minyak, karena hilir migas kita tertinggal,” pungkas Dradjad.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs