Jepang berkomitmen menanam investasi di Indonesia senilai Rp75,4 triliun (5,25 miliar Dollar AS) pada tahun 2023.
Komitmen investasi itu tercapai sesudah Joko Widodo Presiden melakukan pertemuan dengan 10 pemimpin perusahaan Jepang.
Ahmad Heri Firdaus Ekonom INDEF mengatakan, investasi yang masuk di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri.
Investasi dari Jepang diharapkan bisa membuka lapangan kerja sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia. Dengan demikian, perekonomian rakyat akan terdongkrak.
“Investasi yang masuk dari Jepang itu harapannya bisa menyerap tenaga kerja, supaya pendapatan masyarakat meningkat, mengurangi pengangguran,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Menurut Ahmad, salah satu industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah industri manufaktur.
“Investasi yang masuk harus diarahkan ke sektor-sektor yang sifatnya industri manufaktur, pengolahan, atau sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja padat karya,” ungkapnya.
Selain itu, investasi juga harusnya bisa difokuskan pada hilirisasi industri. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia dioptimalkan dalam penggunaan dan pengolahan.
Hal itu perlu dilakukan untuk menciptakan nilai tambah dan mengisi rantai produksi dari hulu ke hilir sebuah produk.
“Sekarang, yang lagi menjadi perhatian adalah bagaimana bisa melakukan hilirisasi industri. Artinya, dengan sumber daya alam yang kita miliki, itu semua bisa diolah untuk menjadi barang yang bernilai tambah,” ucapnya.
Terkait energi baru terbarukan (EBT), investasi dari Jepang menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia, mengingat kemampuan pendanaan dan penguasaan teknologi Negeri Sakura.
“EBT kan harus ada teknologinya. Tentunya kita harapkan datang dari investasi. Salah satunya di sini adalah dari negara-negara yang memang sudah maju duluan dalam hal penciptaan EBT,” harapnya.
Terkait komitmen investasi yang dikantongi pemerintah Indonesia dari Jepang dan China, Yose Rizal Damuri Executive Director Center for Strategic and International Studies (CSIS) mendorong realisisanya agar bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan di Indonesia.
Terlebih dalam kondisi krisis, para investor tentu akan berhati-hati dalam menggelontorkan uang mereka.
“Komitmen jangan cuma jadi seremonial tanpa hasil. Tentunya mau mempunyai dampak yang memang signifikan, pertama komitmen harus bisa direalisasika ,” katanya.
Dalam konteks ekonomi, pemerintah sudah mendapatkan komitmen. Sekarang, tinggal pelaku bisnisnya yang bergerak.
“Bagaimana komitmen itu bisa difasilitasi pemerintah kedua negara. Sehingga ada bisnis ke bisnis yang riil,” imbuh Yose.
Sebelumnya, Airlangga Hartarto Menko Perekonomian ke Jepang untuk bertemu sejumlah pengusaha besar. Dari situ, Pemerintah Indonesia mengantongi komitmen investasi senilai 5,2 miliar Dollar AS atau Rp77,9 triliun.
Sementara dari China, Pemerintah China menyampaikan komitmennya untuk menambah impor CPO sebanyak 1 juta ton dari Indonesia.
Selain itu, China juga akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia. Kedua pemimpin juga membahas kerja sama pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kontribusi investasi terbesar PMA pada Kuartal 2 2022 dari China (2,3 miliar Dollar AS) dan Jepang (0,9 miliar Dollar AS).
Di tengah ancaman krisis pangan, resesi, kenaikan inflasi, Indonesia perlu menjaga stabilitas perekonomian. Dari sisi investasi, Pemerintah Indonesia juga perlu memastikan kesiapan dan kompetensi sebagai tujuan investasi.
“Investor akan menjalankan bisnis dengan hati hati, melihat tempat yang bisa memberikan kepastian yang lebih baik, artinya indonesia mempersiapkan diri,” timpalnya.
Di Jepang, Joko Widodo Presiden kembali menegaskan Indonesia adalah negara tujuan investasi terbaik di dunia.
“In short, kualitas baik, harga bersaing, itulah yang kita harapkan dan saya yakin Indonesia masih merupakan salah satu tempat investasi terbaik,” tutur Jokowi dalam pertemuan dengan pimpinan perusahaan Jepang.
Menanggapi permintaan insentif pajak ekspor oleh pengusaha Jepang, Menko Perekonomian menyebut sebetulnya tidak jauh beda dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Sebenarnya dari sisi besaran pajak, Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara lain, contohnya Thailand. Namun, karena ada besaran perbedaan pajak daerah, maka terkesan pajak di Indonesia lebih tinggi. Itu yang sedang kami kaji di Pemerintah Pusat,” jelasnya.(rid/ipg)