Jumat, 22 November 2024

Pakar Hukum Tata Negara Kritik Rencana MPR RI Menghidupkan PPHN Lewat Konvensi

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: Farid - Suara Surabaya

Bivitri Susanti pakar hukum konstitusi mengatakan, upaya menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui konvensi ketatanegaraan tidak bisa diterima secara keilmuan.

Dia menilai, upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR RI merupakan hal yang mengada-ada.

“Itu ngaco secara keilmuan. Mengada-ada banget. Memang salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi, tapi konvensi artinya praktik yang berulang-ulang seperti Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus. Tapi, kalau untuk mengubah suatu substansi, materi, muatan konstitusi atau UU, tidak bisa,” ujar Bavitri, di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

Sebelumnya, rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bersama pimpinan fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyetujui rencana menghidupkan Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amandemen UUD NRI 1945 sebagaimana inisiasi Bambang Soesatyo Ketua MPR RI.

Walau begitu, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN. Fraksi Golkar menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR RI.

“Rekomendasi Badan Pengkajian MPR adalah wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amandemen UUD NRI 1945, yang oleh Badan Pengkajian MPR disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak,” kata Idris Laena Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI.

Bivitri menambahkan, konstitusi Indonesia memang sudah tidak lagi punya PPHN. Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, tidak ada haluan negara yang perlu diberikan kepada presiden karena presiden dipilih berdasarkan visi-misi waktu kampanye.

“Saya juga orang yang tidak setuju. Karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi,” tegasnya.

Menurut Bavitri, konvensi ketatanegaraan adalah praktik ketatanegaraan yang berulang-ulang dan sudah diterima sebagai praktik. Konvensi ketatanegaraan tidak bisa mengubah konstitusi ataupun UU.

Senada dengan Bavitri, Anang Zubaidy Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyebut, tidak tepat upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.

“Kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan? Menurut saya tidak tepat. Karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pascaamandemen UUD,” sebutnya.

Anang bilang, konvensi ketatanegaraan sebenarnya hukum tidak tertulis. Sebagai konvensi ketatanegaraan, ketika ada perbuatan hukum yang berulang-ulang, dilakukan terus menerus, dan seolah-olah menjadi keharusan untuk dilakukan.

Namun, praktik tersebut tidak mempunyai landasan hukum tertulis misalnya upacara atau Pidato Presiden pada Sidang MPR. Sehingga, PPHN tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.

“PPHN tidak bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan karena tidak dilakukan berulang-ulang,” katanya.

Kalau hal itu dipaksakan, Anang mengingatkan akan adanya dampak yang cukup rumit.

“Kalau PPHN masuk sebagai konvensi, jelas tidak bisa ada konsekuensi. Kalau dipaksakan, ke mana? Siapa yang mau dipaksakan? Karena dia tidak punya konsekuensi,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Zubaidy menduga ada pihak yang ingin mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi dengan kewenangannya.

“Menurut saya, MPR atau DPD yang menginginkan itu sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan, karena mereka menganggap MPR pascaamendemen sebagai lembaga yang tidak punya kewenangan. Dia ada tapi seperti tidak ada. Kemudian, cari-cari alasan, peluang yang bisa digunakan. Bisa jadi begitu,” pungkasnya.(rid/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs