Jumat, 22 November 2024

Pakar: Segeralah Urus HAKI Jika Tidak Ingin Produk Diklaim Orang Lain

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi Hak Cipta. Foto: Pixabay

HAKI memberikan hak dasar pada perlindungan hukum atas produk-produk di berbagai negara, sayangnya kesadaran masyarakat mengurus Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk hasil karyanya, masih kurang.  Padahal, jaminan atas HAKI juga ini sudah menjadi kesepakatan internasional, apalagi memasuki era digital, sebuah ide bisa gampang dijiplak. Terlebih pada produk yang viral di media sosial, ide produk tersebut sangat rawan ditiru, bahkan diklaim baik konsep maupun namanya.

Hak Cipta sendiri diatur dalam UU No.28/2014 tentang Hak Cipta. Adapun, Hak Paten diatur dengan UU No.14/2001 tentang Paten. Secara hukum, keduanya menjadi hak atas kekayaan intelektual atau HAKI yang biasanya digunakan dalam menjalankan bisnis.

Prof. Dr. Mas Rahmah Guru Besar HAKI Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) pada Radio Suara Surabaya, Kamis (28/7/2022) pagi menyebut, ada prinsip first to file. dimana pendaftar produk pertama akan mendapatkan hak ekslusif dan perlindungan hukum, meskipun yang bersangkutan melakukan plagiasi, atau bukan pencipta aslinya.

“Jadi ini khususnya sering kita temui dalam produk musik, dimana ada musisi yang meng-cover lagu musisi lain. Setelah musisi yang melakukan cover tadi sukses dengan lagu tadi, pencipta aslinya menuntut karena tidak adanya izin dan lain sebagainya. Hal ini seringkali dianggap sebagian orang lain tidak melanggar secara hukum, selama lagu tadi belum mendapatkan hak paten atau hak ciptanya,” ujarnya.

“Problemnya memang ada budaya yang menjadikan pelanggaran seperti itu jadi hal yang lumrah. Padahal, kalau musisi cover tadi upload di Youtube atau platform lain dan dapat monetize (keuntungan), otomatis pencipta belum mengurus HAKI atas karya asli tadi ya pasti merugi karena tidak bisa menuntut,” lanjut Prof. Rahmah.

Selain lagu, kata Guru Besar FH Unair, saat ini ada kecenderungan orang meniru merek tertentu untuk produk mereka. Karena tidak yakin dengan brand (merek) nya sendiri bisa laku dipasaran.

“Biasanya UMKM yang paling sering melakukan hal ini, karena tidak pede dengan mereknya. Tujuannya sangat simple, karena mereka ingin mendapatkan uang dan produknya laku. Merek yang ditiru ini biasanya adalah merek yang sudah melekat kuat dengan mayoritas tingkat konsumen tinggi,” jelasnya.

Menanggapi polemik dua nama produk kosmetik dan menjadi viral di publik karena saling klaim menggunakan nama brand yang hampir sama, Prof. Rahmah menjelaskan bahwa hal tersebut memang wajar dan sah jika sampai dibawa ke ranah hukum/persidangan. Hal tersebut dikarenakan adanya kesamaan yang dominan antara produk satu dengan produk lainnya, dan bisa mengecoh konsumen.

“Konsumen produk milik A nanti malah terkecoh dan beli di produk milik si B karena dikira sama-sama produknya, atau mungkin satu cabang. Ini juga bisa merugikan si A secara tidak langsung,” ujarnya.

Untuk itulah, kata Prof. Rahmah, pendaftaran HAKI yang meliputi hak paten, hak cipta sampai hak perlindungan harus segera diurus agar dikemudian hari tidak menjadi polemik.

Prof Rahmah juga menjelaskan polemik Citayam Fashion Fashion Week yang tiba-tiba didaftarkan HAKI-nya oleh salah satu artist, kata dia seharusnya untuk melindungi kreatifitas anak muda yang menggagas, memang harus dipatenkan.

“Yang jadi masalah kan sebenarnya si pendaftar ini bukan pencetus atau penggagas aslinya. Sehingga, muncul kekhawatiran jika anak-anak yang tadinya founder atau penggagas, justru tersingkirkan dengan adanya pendaftaran HAKI tersebut,” terangnya.

Di Akhir, Prof Rahmah mengingatkan, seluruh permasalahan terkait hak cipta sejatinya sangat bisa dihindari jika kita menghargai orang lain. “Paling tidak jangan asal meniru atau mengklaim karya orang lain,” pungkasnya. (bil/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs