Riza Noviana Khoirunnisa Pakar Psikologi Anak Universitas Negeri Surabaya mengatakan anak-anak yang menjadi korban bullying di sekolah banyak yang tidak berani melapor. Alasannya beragam, mulai dari takut, malu, hingga diancam oleh pelaku.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan di sekolah, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas.
Baru-baru ini, salah satu siswa SD di Tasikmalaya meninggal dunia diduga karena depresi lantaran jadi korban perundungan teman-temannya di sekolah.
Kata Riza, penyebab bullying ada beberapa faktor. Namun yang paling dirinya soroti adalah faktor ketidakseimbangan antara pelaku dengan korban.
Ketidakseimbangan itu bisa berupa ukuran badan, fisik, kepandaian komunikasi, gender hingga status sosial. Selain itu, adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk kepentingan pelaku dengan cara mengganggu atau mengucilkan korban.
“Penyebab lain yang menyertai biasanya terkait lingkungan pergaulan yang salah dan pengaruh teman sebaya dan lain-lain. Karena untuk usia SD, anak ada di fase ketekunan versus rendah diri. Percaya diri vs rendah diri sering terjadi di sekolah,” ujar dosen Fakultas Ilmu Pendidikan tersebut, Minggu (24/7/2022).
Bullying secara kasat mata tampak seperti guyonan biasa kepada anak-anak. Namun jangan mengira itu tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau olokan secara verbal sangat berbahaya bagi anak.
“Biasanya orang tua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya luka psikis atau emosional yang lebih dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka panjang,” tegasnya.
Menurut Zara, bagi anak yang menjadi korban tentu memiliki dampak pada masalah kesehatan mental. Kata dosen FIP itu, mereka akan merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman dekat atau sahabat dan tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua.
Sesuai penuturan Zahra, dirinya menyebut beberapa penelitian menunjukan jika bullying menjadi faktor utama yang mempengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah.
Menurutnya, untuk meminimalisir kasus-kasus bullying hingga menimbulkan korban, iklim sekolah harus lebih diperhatikan.
“Sekolah harus punya program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi,” ujarnya.
Para orang tua berhak untuk mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka.
Kata Zahra, jika perlu sekolah punya divisi khusus yang menangani komunikasi dengan orang tua. Sekolah bisa membuka hotline yang setiap saat bisa orang tua hubungi atau sebuah website interaktif.
“Hal lain yang penting diperhatikan juga yaitu memperbaiki komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Pola asuh yang baik adalah yang bisa memberikan kesempatan kepada anak mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya,” pungkasnya.(wld)