Farah Delah Direktur Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) yang mengorganisasi 79 Rumah Sakit Swasta di Malaysia mengaku mendapat kunjungan 1,2 juta pasien sepanjang 2021. 60 persen di antaranya merupakan pasien dari Indonesia.
“670 ribu masyarakat Indonesia berobat ke Malaysia pada tahun 2019. Beberapa pasien dari Indonesia memilih berobat ke Malaysia karena tidak perlu mengantre panjang dan bisa langsung tertangani,” ujar Farah pada suarasurabaya.net, Kamis (30/6/2022)
Selain itu, kata Farah, dari sisi harga juga tidak terlalu jauh dengan tarif pengobatan rumah sakit swasta di Indonesia.
“Beberapa pasien kami berasal dari Medan, mereka lebih memilih berobat ke Malaysia karena lebih dekat ketimbang harus pergi ke Jakarta atau Rumah Sakit di Jawa,” katanya.
Rumah sakit Malaysia, dijelaskan oleh Farah, juga sering dijadikan jujugan pasien Indonesia untuk mendapatkan second opinion terkait diagnosa yang telah mereka dapatkan dari hasil pemeriksaan rumah sakit dalam negeri.
MHTC merupakan organisasi yang mengkombinasikan konsep pengobatan dan pariwisata di bawah Kementerian Kesehatan Malaysia.
Dengan konsep medical tourism, Malaysia melayani pengobatan sekaligus paket wisata untuk beberapa destinasi di sekitar rumah sakit.
Mulai dari penjemputan di bandara, ketersediaan transportasi, keperluan panduan wisata, hingga panduan lokasi menginap yang diinginkan pasien.
“Konsep Medical Tourism ini ikut mendobrak sektor pariwisata di Malaysia sekitar 50 persen,” terangnya.
MHTC menggandeng 18 rumah sakit swasta Negeri Jiran untuk menggelar pameran sekaligus menyampaikan bahwa Malaysia mulai membuka border atau akses masuk dari negara lain untuk berobat sejak 1 April 2022.
Farah juga membeberkan 5 kasus penyakit paling banyak ditangani oleh rumah sakit di Malaysia seputar penyakit Jantung, Kanker, Orthopedic, Hepatitis C hingga program Bayi Tabung.
Khusus penanganan Hepatitis C, Malaysia mengeklaim negaranya memiliki terobosan pengobatan yang belum dimiliki negara lain.
“Dari 58 juta orang terinfksi Hepatitis C di dunia. Hanya 11 persen saja yang sudah tahu bahwa mereka terjangkit,” paparnya.
Keterlambatan diagnosa ini disebabkan karena Hepatitis C hampir tidak bergejala dan masih rendahnya kesadaran individu dalam melakukan check up. (tha/ipg)