Sabtu, 23 November 2024

Pakar Hukum: UU 35/2009 Sudah Mengatur Narkotika untuk Kepentingan Medis dan Pendidikan

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Slamet Pribadi Pakar Hukum Narkotika (tengah kemeja putih) menjadi narasumber diskusi tentang RUU Narkotika, di Gedung DPR RI bersama Nasir Djamil dan I Wayan Sudirta Anggota Komisi III DPR, Selasa (14/6/2022). Foto: Farid

Isu melegalkan ganja yang masuk narkotika golongan I mendadak viral sesudah Santi Warastuti seorang ibu berunjuk rasa di kawasan Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (26/6/2022).

Dalam aksinya, Santi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan ganja untuk pengobatan anaknya yang mengidap kelainan otak, lewat putusan uji materi yang diajukannya atas Undang-undang tentang Narkotika.

Slamet Pribadi Pakar Hukum Narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya mengatakan, upaya untuk melegalisasi ganja itu sudah lama disuarakan sejumlah pihak dengan berbagai cara.

Mulai dari demo kecil-kecilan, mendatangi berbagai lembaga terkait, mengadakan diskusi-diskusi kecil mengundang stakeholder terkait narkotika, dengan membawa informasi yang diklaim dari jurnal penelitian internasional.

“Secara lisan pihak-pihak itu menyampaikan informasi. Tapi, belum memberikan rincian data tersebut untuk memperjelas argumen yang menurutnya bisa memberikan manfaat menyembuhkan sakit tertentu. Sementara, mereka tidak menjelaskan bagaimana dampak negatif penggunaan ganja berkepanjangan akibat kecanduan ganja sehingga terus menagih,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Rabu (29/6/2022).

Mantan Juru Bicara Badan Narkotika Nasional (BNN) itu melanjutkan, pihak-pihak yang mendesak legalisasi ganja untuk keperluan medis harusnya membaca dengan teliti Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

“Pasal 7 UU 35/2009 berbunyi; Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, dijelaskan dalam penjelasan Pasal 7, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan rehabilitasi medis,” paparnya.

Dia melanjutkan, penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan, dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan termasuk untuk melatih anjing pelacak narkotika dari instansi Polri, Bea dan Cukai, BNN serta instansi lain yang terkait pengawasan peredaran narkotika.

“Kalau memperhatikan hal tersebut, narkotika apa pun jenisnya termasuk ganja, sepanjang digunakan untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk pendidikan dan penelitian, diperbolehkan. Tapi, harus mendapat izin atau rekomendasi dari pihak terkait, misalnya rekomendasi dokter yang merawat, diikuti dengan persetujuan dari pihak terkait, atau instansi yang berhubungan dengan kesehatan dan Badan POM,” tegasnya.

Menurutnya, itu menunjukkan UU 35/2009 tentang Narkotika sudah mendahului ingar bingar legalisasi ganja untuk medis.

Pensiunan perwira menengah Polri tersebut menjelaskan, hukum narkotika yang dituangkan dalam UU 35/2009 tentang Narkotika, dibuat berdasarkan suasana kebatinan Bangsa Indonesia.

“Jadi, tidak perlu meniru negara lain yang melegalkan ganja. Di negara lain tentu hukum dibuat berdasarkan suasana sosial di negara yang bersangkutan, yang belum tentu cocok dengan suasana Indonesia,” tegasnya.

Slamet menekankan, dalam UU Narkotika yang tidak boleh adalah menyalahgunakan. Dalam pasal penghukuman, setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dilarang menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I.

“Penekanannya adalah tanpa hak atau melawan hukum. Kalau sudah mendapat rekomendasi, izin atau persetujuan dari instansi yang berhubungan dengan kesahatan dan Badan POM, diperbolehkan,” katanya.

Lebih lanjut, Slamet mendorong pihak terkait yang pernah meneliti ganja dari sisi manfaat harus didengarkan pihak pemerintah dan anggota dewan. Begitu juga dengan pihak yang meneliti dampak panjang penggunaan narkotika.

“Tidak elok bersuara untuk legalisasi ganja dengan alasan untuk medis, namun ternyata ada upaya rekreasional dari pencetusan isu legalisasi ganja. Kalau itu yang terjadi, ada kemungkinan di kemudian hari terjadi persoalan pemakaian yang tidak terkendali, atau pemakaian yang berkepanjangan,” imbuhnya.

Kemudian, ada ekses kesehatan, psikologis dan sosial, seperti minimnya orang yang berprestasi karena pemakai berkepajangan, kecelakaan lalu lintas karena tidak bisa mengambil keputusan cepat ketika terjadi sesuatu di jalan, dan persoalan asosial lainnya, yang merugikan individu dan masyarakat.

“Kalau legalisasi terjadi di Indonesia, siapa yang berani menjamin ganja benar-benar untuk pengobatan? Sementara, ada pihak lain menggunakan ganja untuk kepentingan rekreasional, walau pun pengawasan diperketat sedemikian rupa,” pungkasnya.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs