Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama di hadapan pejabat kantor dinas kependudukan dan catatan sipil (dispendukcapil) setempat.
RA, calon pengantin pria beragama Islam dengan pasangannya EDS yang beragama Kristen, mengajukan permohonan pernikahan beda agama ke PN Surabaya 13 April 2022. Kemudian dikabulkan pada 26 April 2022 dan tercantum pada penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby.
Imam Supriyadi hakim tunggal yang meneliti perkara ini merujuk pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang berbunyi pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Menurut M Soleh salah satu advokat di Surabaya, seharusnya hakim tidak hanya semata merujuk pada pasal dalam UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dalam membuat penetapan. Ini karena menurutnya pasal tersebut bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang isinya perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
“Dalam kasus ini, pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 74 melarang tapi kok pasal 35 UU Adminduk memberikan ruang. Ini bisa jadi yurisprusidensi di daerah lain, wong di Surabaya dikabulkan kok,” kata Soleh saat mengudara Radio Suara Surabaya, Rabu (22/6/2022).
Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Dan ini menurutnya bisa menjadi celah bagi pasangan beda agama agar tidak jauh-jauh menikah di luar negeri supaya bisa dicatatkan pernikahannya di Indonesia.
Selain itu ia juga menilai hakim yang memutus permohonan tersebut lupa bahwa pernah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan perkawinan beda agama.
“Hakim lupa kalau tahun 2015 ada putusan MK pernah diuji pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang melarang kawin beda agama. Ini sudah ditolak. Dan sekarang sedang diuji lagi di MK,” ujarnya.
Lalu terkait suara-suara dari berbagai pihak terkait pembatalan penetapan putusan PN Surabaya ini, menurut Soleh yang harusnya digugat adalah Pasal 35 UU Adminduk itu sendiri.
Sementara menurut Faizal Kurniawan Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, ini bukan satu-satunya putusan hakim yang memberikan penetapan bagi perkawinan beda agama. Sejak diundangkan sampai sekarang, pengadilan sudah memberikan keputusan-keputusan penetapan untuk mengabulkan perkawinan beda agama.
Menurut data yang dipegangnya, ada sekitar 7-8 putusan yang memberikan penetapan bagi perkawinan beda agama seperti di tahun 2014, 2015 dan 2018.
“Sesungguhnya keputusan hakim ini sudah ada dari tahun 1986 sampai saat ini pun sebenarnya ada solusi yang diberikan oleh UU Perkawinan itu sendiri. Sehingga penyelesaian sengketa perkara perkawinan beda agama diatur dalam pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” kata Faizal dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya.
Pasal tersebut berbunyi: Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
“Artinya di dalam pasal 21 sudah memberikan exit way di dalam hal adanya penolakan terkait pencatatan perkawinan beda agama berhak mengajukan kepada pengadilan. Inilah yang digunakan sebagai dasar pengadilan untuk memberikan solusi bagi mempelai yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama,” terangnya.
Ditambahkan oleh Ben Hajon Wakil Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sidoarjo, seharusnya negara tidak boleh mengintervensi legalitas perkawinan karena itu merupakan otoritas agama masing-masing karena landasan hukumnya sudah jelas.
“Kalau merujuk pada pasal 2 ayat 1 di situ dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Lalu di ayat 2 dikatakan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Ben kepada Suara Surabaya.
“Dalam konteks ini legitimasi perkawinan justru ditentukan oleh agama masing-masing bukan negara, negara hanya melaksanakan fungsi administrasi belaka, tapi dalam praktiknya negara punya otoritas legitimasi perkawinan,” imbuhnya.
Ben tidak hanya menyoroti perkara pencatatan perkawinan beda agama, namun juga perceraian yang ada di UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana dalam UU tersebut mengatur perkara perceraian diputuskan di Pengadilan Agama, namun untuk non muslim di Pengadilan Umum.
“Kalau ke Pengadilan Umum belum tentu hakim paham tentang hukum agama perceraian keyakinan tersebut. Ini problem serius,” imbuhnya.(dfn/rst)