Jumat, 22 November 2024

Polusi Udara Pembunuh Paling Tinggi, Dokter Sarankan Tetap Pakai Masker

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Kota Surabaya nampak berkabut karena kandungan polusi udara pada Selasa (28/3/2017) sore. Foto: Ika suarasurabaya.net

Ari Baskoro, dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan imunologi menganjurkan masyarakat Kota Surabaya tetap menggunakan masker saat berada di luar ruangan, terutama di jalan raya yang padat kendaraan bermotor.

“Tanpa kita sadari, polusi adalah pembunuh paling banyak. Kematian akibat perang, terorisme, malaria, TBC, dan narkoba, jika digabung belum mengalahkan dampak kematian akibat polusi,” ujarnya dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (14/6/2022).

Majalah medis The Lancet edisi Mei 2022, mempublikasikan bahwa polusi menyebabkan kematian sembilan juta jiwa secara global pada tahun 2019. Jurnal terkemuka dunia itu menyebutkan negara India menjadi penyumbang angka kematian tertinggi. Sebanyak 1,6 juta penduduknya meninggal karena polusi udara.

Di sisi lain, riset Global Allience On Health And Pollution (GAHP) menyebutkan, dari 232,9 ribu kematian di Indonesia pada tahun 2017, sebanyak 123,7 ribu di antaranya meninggal karena polusi udara. Sebagai perbandingan, jumlah rakyat Indonesia yang meninggal karena pandemi Covid-19 sebanyak 157 ribu jiwa. Menurut riset itu pula, 15 persen dari seluruh kematian global karena polusi udara.

Laporan terbaru Kualitas Udara Dunia IQAir 2021 menyebutkan Indonesia di peringkat ke-17 negara paling berpolusi di dunia. Negara-negara paling berpolusi itu punya konsentrasi PM 2,5 atau polusi partikel halus yang paling berbahaya.

Laporan terbaru yang dirilis WHO pada tahun 2021, konsentrasi PM 2,5 Indonesia berada di angka 34,3 mikrogram per meter kubik. Indeks ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Kota-kota besar seperti DKI Jakarta dan Surabaya memerlukan perhatian khusus.

Istilah PM, merujuk pada campuran partikel padat dan cair yang didapatkan di udara. Bentuknya seperti debu, jelaga dan asap. Sedangkan, PM 2,5 adalah polutan udara yang berukuran sangat kecil, sekitar 2,5 mikron (mikrometer).

“Polutan semacam ini bisa juga berada di udara dalam rumah. Asalnya dari kegiatan rumah tangga seperti memasak, merokok, atau membakar obat nyamuk,” kata Ari.

Dampak polutan yang sering kali tidak dirasakan secara langsung membuat masyarakat menjadi kurang waspada. Dalam jangka pendek, partikel polusi yang ukurannya 10 mikron dapat menyebabkan serangan asma akut dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). PM 2,5 bisa memicu timbulnya penyakit jantung, paru dan saluran nafas atau bronkitis. Paparan dalam jangka panjang, berpotensi menyebabkan kematian prematur, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan kanker paru.

“Polusi yang ukuran partikelnya di atas 2,5 micron masih bisa disaring rambut dan lendir di lubang hidung, tapi di bawah 2,5 micron bisa menerobos sampai paru-paru paling dalam,” ujarnya.

Ari melanjutkan, polusi juga berdampak pada kesehatan bayi, risiko cacat pada janin, dan angka harapan hidup.

“Saat ini angka harapan hidup di Kota Surabaya adalah 73,5 tahun. WHO mewanti-wanti tingginya polusi dapat menurunkan angka harapan hidup masyarakat perkotaan,” kata dia.

Karena itu, meski pemerintah sudah melonggarkan aturan memakai masker, dia tetap menganjurkan masyarakat Surabaya menggunakan masker. “Terutama saat berkendara di jalan raya, sesingkat mungkin di belakang bus kota karena gas buang mesin diesel tidak terkendali,” tambahnya.(iss/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs