Sabtu, 23 November 2024

Kisah Inspiratif Anak Down Syndrome Jago Melukis

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Edo ketika ikut pameran UMKM dan menunjukkan karyanya. Foto: istimewa

Anak adalah sebuah titipan berharga dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitulah yang ada di benak Lili ketika Edward Ryo, bayi keduanya dinyatakan Down Syndrome sejak lahir.

Awalnya merasa asing dengan istilah Down Syndrome, tapi akhirnya perlahan warga Surabaya itu memahami soal kelainan genetik yang disebabkan ketika pembelahan sel menghasilkan bahan genetik tambahan dari kromosom 21 tersebut.

“Down Syndrome itu keterlambatan perkembangan dan intelektual,” kata Lili kepada suarasurabaya.net, Jumat (10/6/2022).

Tidak mudah bagi Lili menerima kenyataan itu. Tetapi dia lebih tidak ingin jika harus pasrah tanpa berbuat sesuatu demi Edo, panggilan Edward Ryo.

“Saya mikirnya kalau temen-temennya normal, dia belum bisa bagaimana. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa pada waktu itu. Saya cuma berpikir bagaimana cara saya mendampingi Edo. Saya tidak minta normal asalkan tidak terlalu terlambat,” jelas Lili.

Beberapa hari setelah melahirkan, problem demi problem muncul, tetapi ia fokus mencari solusinya. Down Syndrome membuat posisi lidah Edo berbeda dari manusia normal sehingga sulit mengonsumsi ASI. Hingga pihak medis rumah sakit menyarankan pemasangan selang makan atau sonde. Lili menolak dengan alasan tidak ingin anaknya semakin terlambat merespon. Sejak saat itu ia bertekad untuk melakukan apapun demi melatih kemampuan anaknya agar tidak jauh tertinggal dengan anak-anak normal lainnya.

“Saya suapi sendiri saya latih meski harus tumpah karena tidak ditelan, lama-lama bisa. Kemudian saya ajari tengkurap, ternyata juga sebelum 3 bulan, Edo sudah bisa tengkurap padahal bayi normal baru bisa melakukan itu rata-rata 3 bulan ke atas. Saya berusaha senaksimal mungkin untuk tidak menerima begitu saja soal stigma Down Syndrome itu akan terlambat dalam segala hal,” ujar Lili bercerita.

Tidak berhenti di situ, pada usia 3 tahun Edo sudah disekolahkan playgroup dan 6 tahun memasuki sekokah Taman Kanak-Kanak (TK) normal dengan kemampuan yang hampir sama dengan bocah seusianya, yaitu membaca dan menulis.

Kemudian saat masuk SD, sekolah formal menolaknya. Namun Lili berusaha untuk memberikan kesempatan anaknya bersosialisasi dan merasakan pendidikan pada umumnya, sehingga bisa diterima.

“Saya tidak minta rapor, saya tahu anak saya pasti akan terlambat. Saya cuma jelaskan pada waktu itu untuk memberi kesempatan selama anak saya tidak mengganggu yang lainnya dan tidak membuat gaduh. Saya fotokopi rapor dengan warna sama. Saya minta gurunya memberi nilai 2, 3, atau 4, jika melihat Edo sudah bisa membaca misalnya dan lain-lain. Edo tidak akan mengerti artinya nilai, tapi saya hanya memikirkan perasaannya ketika teman-temannya memiliki rapor,” terang Lili.

Hingga akhirnya kelas 3 SD, Edo mulai home schooling setiap sore. Namun rutinitas sekolah formal tetap dilakoninya sejak pagi hingga siang.

“Itu agar Edo bisa tetap ujian kejar paket dan dapat ijazah,” pungkasnya.

Secara akademis, sambung Lili, mungkin anaknya sudah pasti mengalami keterlambatan dibandingkan anak normal. Tapi ia ingin memberi kesempatan Edo menguasai kemampuan lainnya.

“Saya kursuskan berenang, sampai sekarang dia bisa berenang mulai dari yang dangkal sampai yang dalam. Les piano, juga dia dapat ijazah paling dasar tapi royal itu kan luar negeri, saya bangga. Les lego juga, saya minta gurunya membawa lego sendiri, Edo juga biar tidak hanya diajari tapi dia bisa melakukan sendiri. Sampai akhirnya les melukis juga, segala media dicoba mulai kanvas memakai cat air, kertas memakai krayon dan sebagainya. Tapi akhirnya dia memiliki media kertas dengan mewarnaj memakai pensil warna,” kata Lili.

Kini, Edo sudah tumbuh menjadi remaja 21 tahun dengan segudang kemampuan. Terlebih ia dikenal sebagai penyandang Down Syndrome yang jago melukis. Selembar kertas putih akan disulap oleh Edo menjadi penuh dengan gambar-gambar kombinasi bangunan rumah, sekolah, jalan raya, pohon, beberapa orang, mobil, tumbuh-tumbuhan.

“Itu ciri khasnya, khusus sekali lukisannya itu. Kalau kata orang-orang yang melihat lukisannya, ini sebuah perkotaan. Tapi Edo kalau ditanya memang bisa menjelaskan ada ikan, ada shower, ada apa di dalamnya, cuma secara makna memang tidak bisa. Tapi setiap kali melukis meski sekilas dilihat sepertinya sama semua, tetapi berbeda kalau diamati satu-persatu,” jelas Lili sambil menunjukkan lukisan-lukisan Edo yang dikumpulkannya di sebuah buku binder besar.

Lili kemudian berinisiatif mencetak lukisan Edo pada buku notes, botol termos, tas jinjing, masker, dan penutup kepala. Kemudian produk-produk itu dipamerkan ketika ada gelaran pameran UMKM terlebih yang melibatkan para difabel.

“Kalau ada yang mau beli ya dijual masker dan buku notes 35 ribu, penutup kepala 75 ribu, tas jinjing 135 ribu, termos 125 ribu. Masker itu laku 200 biji selama kurang dari setahun waktu Covid-19 kemarin,” ujar Lili.

Seringkali hasil penjualan barang-barang itu didonasikan kepada komunitas Down Syndrome. Namun jika ada yang terjual, Lili langsung memasukkan ke dalam tabungan Edo.

“Saya terus berusaha barang apa yang bisa diaplikasikan dari lukisannya. Saya juga berusaha Edo bisa mandiri, karena orang tua mungkin tidak bisa menemani seterusnya. Tapi saya bersyukur kakaknya sangat sayang dengan Edo, keluarga men-support, guru-guru Edo juga, dan banyak orang. Tanpa mereka, Edo tidak bisa seperti sekarang,” imbuh Lili. (lta/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs